Marknews.id – Di bawah terik matahari, suara “rolling!” dari koordinator liputan lapangan menggema. Seorang juru kamera memanggul kamera bahu besar seberat hampir sepuluh kilogram, sementara reporter berdiri tegak dengan kertas naskah kecil di tangan. Adegan seperti itu lazim terlihat pada 1980-an, ketika satu-satunya stasiun televisi di Indonesia, Televisi Republik Indonesia (TVRI), menjadi jendela utama informasi bangsa.
Kini, empat dekade berselang, pemandangan itu nyaris tak lagi terlihat. Wartawan televisi cukup mengeluarkan smartphone dari saku, memasang mic clip on, lalu menekan tombol “record.” Siaran langsung pun bisa dilakukan dalam hitungan detik — bahkan tanpa kru lengkap. Dunia jurnalistik televisi telah bertransformasi total.
Era TVRI: Mengabdi pada Negara dan Teknologi Analog
Ketika TVRI pertama kali mengudara pada 24 Agustus 1962, momentumnya bertepatan dengan pembukaan Asian Games IV di Jakarta. Saat itu, peralatan liputan masih serba analog. Kamera yang digunakan adalah kamera tabung (tube camera) produksi Jepang dan Eropa, dengan sistem hitam-putih. Untuk siaran luar studio, kru membawa kamera ENG (Electronic News Gathering) yang besar dan berat, disertai mesin perekam pita U-matic.
Wartawan TVRI era itu bukan hanya jurnalis, tapi juga harus paham teknik. Mereka bekerja bersama juru kamera, teknisi pencahayaan, dan operator suara. Liputan di luar kota berarti membawa mobil van penuh peralatan dan generator listrik portable.
“Dulu kami bisa butuh waktu berjam-jam hanya untuk menyiapkan satu pengambilan gambar,” kenang seorang mantan jurnalis TVRI yang kini pensiun.
Televisi Swasta dan Revolusi Portabilitas
Awal 1990-an menandai babak baru. Kehadiran RCTI (1989), disusul SCTV, Indosiar, ANTV, dan TPI, membuka kompetisi berita televisi. Format berita pun berubah: lebih cepat, dinamis, dan visual.
Pada era ini, kamera Betacam SP menjadi standar liputan. Alat ini jauh lebih ringan dibanding kamera TVRI tempo dulu, dengan kualitas gambar lebih baik. Wartawan televisi tak lagi sekadar “penyampai berita”, tetapi juga menjadi “wajah” media — dikenal luas oleh pemirsa.
Di ruang redaksi, proses editing dilakukan dengan linear editing menggunakan dua mesin VTR (Video Tape Recorder). Reporter duduk berdampingan dengan editor, memilih potongan gambar satu per satu secara manual. Hasilnya direkam ke pita master yang kemudian dikirim ke studio untuk disiarkan.
Namun, semua berubah drastis pada pertengahan 2000-an.
Era Digital: Laptop, Internet, dan Kamera Mini
Memasuki 2000-an, sistem digital menggantikan pita analog. Kamera DV dan DVCAM menjadi primadona. Gambar direkam ke kaset mini yang bisa langsung dipindahkan ke komputer. Proses editing beralih ke non-linear editing dengan perangkat lunak seperti Adobe Premiere dan Final Cut Pro.
Di saat yang sama, internet mulai membuka cara baru distribusi berita. Reporter tak lagi harus pulang ke kantor untuk mengirim video. Mereka bisa mengunggah hasil liputan dari lapangan melalui modem GSM atau jaringan Wi-Fi.
Kehadiran televisi berita 24 jam seperti Metro TV (2000) dan tvOne (2008) mempercepat perubahan ini. Wartawan dituntut lebih cepat, ringkas, dan mampu melakukan liputan langsung (live report) di berbagai lokasi.
Smartphone dan Era “One Man Crew”
Memasuki 2010-an, perkembangan smartphone dengan kamera resolusi tinggi benar-benar mengubah permainan. Liputan tak lagi membutuhkan kamera besar. Banyak televisi kini mengizinkan jurnalis menggunakan smartphone journalism (mojo) untuk peliputan cepat — terutama untuk breaking news.
Cukup dengan gimbal, mic clip-on, dan tripod mini, satu wartawan bisa menjadi “one man crew”: merekam gambar, wawancara, menulis naskah, hingga mengirim hasilnya ke newsroom.
Beberapa televisi besar bahkan telah membuat divisi mojo khusus. Dengan perangkat ringan seperti iPhone 15 Pro atau Samsung S24 Ultra, hasil liputan bisa langsung tayang di televisi dengan kualitas mendekati kamera profesional.
“Sekarang saya bisa liputan banjir di Jakarta, edit di mobil, dan kirim video ke redaksi dalam 10 menit,” ujar seorang reporter muda stasiun televisi nasional.
Tantangan Baru: Kecepatan vs Akurasi
Namun, kemudahan teknologi membawa tantangan baru. Di tengah derasnya arus informasi dan kecepatan media sosial, wartawan televisi dituntut tetap menjaga akurasi dan etika jurnalistik.
Liputan dengan smartphone memang efisien, tetapi potensi kesalahan juga lebih tinggi. Editing cepat bisa membuat konteks berita terlewat, sementara tekanan untuk menjadi yang “pertama tayang” kadang mengorbankan kedalaman informasi.
“Teknologi memudahkan, tapi tidak menggantikan nilai jurnalistik,” kata seorang redaktur senior. “Yang terpenting tetap: verifikasi dan tanggung jawab.”
Penutup: Dari Bahu ke Genggaman
Dari kamera bahu berbobot sepuluh kilogram hingga smartphone di telapak tangan, transformasi wartawan televisi di Indonesia menggambarkan evolusi luar biasa dalam teknologi dan cara kerja media.
Jika dulu satu liputan memerlukan satu tim besar, kini satu wartawan bisa menyiarkan ke seluruh negeri hanya dengan sebuah ponsel dan koneksi internet. Tapi esensi profesi itu tetap sama: mencari kebenaran dan menyampaikan fakta kepada publik.
Dunia televisi mungkin berubah, tapi semangat jurnalistik—tetap hidup, dari masa ke masa.
Tinggalkan Balasan