Kritik Logika Putusan terhadap Thomas Lembong, FH UII Desak Reformasi Hukum

Marknews.id – Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII) menyoroti putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) terhadap mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong dalam perkara impor gula tahun 2015. Melalui kegiatan Eksaminasi Publik yang digelar Centre for Leadership and Law Development Studies (CLDS), tim akademisi FH UII menilai putusan tersebut tidak hanya lemah secara hukum, tetapi juga berpotensi menimbulkan preseden buruk bagi kebijakan publik di masa depan.
Dalam forum yang berlangsung di Kampus FH UII, para akademisi menyebut bahwa pengadilan telah keliru menafsirkan kebijakan ekonomi sebagai tindak pidana korupsi. Mereka menilai, keputusan tersebut mengabaikan asas keadilan dan logika hukum yang seharusnya menjadi landasan utama dalam memutus perkara publik.
“Tindakan Tom Lembong adalah pelaksanaan diskresi administratif, bukan perbuatan pidana,” kata Dr. Muhammad Arif Setiawan, dosen FH UII.
Menurut Arif, kebijakan impor gula yang dilakukan saat itu merupakan langkah administratif yang diambil atas instruksi langsung dari Presiden. Tujuannya, untuk menjaga stabilitas harga pangan di tengah situasi ekonomi yang tidak menentu, bukan untuk keuntungan pribadi atau kelompok tertentu.
Pidana Seharusnya Jadi Upaya Terakhir
Pandangan senada disampaikan Guru Besar FH UII, Prof. Dr. Ridwan. Ia menilai aparat penegak hukum terlalu tergesa-gesa menggunakan instrumen pidana terhadap tindakan administratif pejabat publik.
“Pidana seharusnya ultimum remedium, bukan alat utama,” ujarnya.
Prof. Ridwan menegaskan, pendekatan represif terhadap kebijakan publik justru dapat menimbulkan efek jera yang salah arah. Pejabat akan menjadi ragu mengambil keputusan cepat dalam situasi krisis, padahal keberanian dan ketegasan sering kali dibutuhkan untuk menjaga stabilitas negara.
Dasar Kerugian Negara Dipertanyakan
Sementara itu, Prof. Dr. Rusli Muhammad menyoroti aspek pembuktian dalam perkara tersebut, terutama terkait klaim kerugian negara yang hanya berdasar pada audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
“Audit BPKP bersifat administratif, bukan yuridis,” ujarnya.
Ia menambahkan, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) telah menegaskan bahwa kerugian negara dalam perkara korupsi harus nyata dan pasti (actual loss), bukan sekadar perhitungan administratif yang bersifat asumtif.
Abolisi Presiden Harus Dianggap Mengakhiri Perkara
Dalam eksaminasi tersebut, FH UII juga menegaskan bahwa langkah Presiden memberikan abolisi kepada Thomas Lembong secara hukum seharusnya mengakhiri seluruh proses perkara.
“Dengan abolisi, perkara selesai. Tidak perlu ada upaya hukum lagi,” kata Dr. Arif menegaskan.
Langkah tersebut, menurutnya, bukan sekadar keputusan politik, tetapi juga bentuk pemulihan terhadap keadilan hukum yang dinilai telah melenceng dari prinsip dasarnya.
Seruan Reformasi Penegakan Hukum
FH UII menekankan bahwa eksaminasi publik ini tidak dimaksudkan untuk membela individu, melainkan sebagai kritik akademik terhadap praktik hukum yang dinilai telah kehilangan arah keadilan.
“Hukum harus menjadi alat keadilan, bukan alat kekuasaan,” ujar Prof. Rusli.
Para akademisi juga mendorong agar batas antara kesalahan administratif dan tindak pidana korupsi diperjelas dalam sistem hukum Indonesia.
“Ketika hukum berhenti memahami konteks, yang lahir bukan keadilan, melainkan ketakutan,” tutur Prof. Ridwan menutup diskusi.
Eksaminasi publik FH UII ini menjadi refleksi penting atas bagaimana penegakan hukum di Indonesia perlu dikembalikan pada esensi keadilan dan rasionalitas hukum, bukan semata pada tafsir tekstual yang kaku.