Marknews.id – Di balik setiap foto berita yang terpampang di halaman depan koran, majalah, atau portal daring, ada sosok-sosok yang bekerja dalam senyap. Mereka bukan hanya “tukang jepret,” melainkan saksi mata sejarah. Dari kerusuhan sosial, bencana alam, hingga senyum seorang anak di pelosok negeri — semuanya mereka abadikan lewat bahasa visual.
Merekalah pewarta foto — atau yang lebih populer disebut fotojurnalis.
Namun perjalanan mereka tidak selalu mudah. Sebelum era digital yang serba cepat dan praktis seperti sekarang, pewarta foto harus melewati proses panjang, melelahkan, dan terkadang berisiko tinggi. Setiap hasil jepretan memiliki kisah tersendiri, dan setiap foto adalah hasil dari kombinasi antara ketepatan teknis, insting jurnalistik, dan sedikit keberuntungan.
Masa Film: Saat Cahaya Menjadi Tulisan di Seluloid
Dulu, jauh sebelum kamera digital dan smartphone mengubah dunia, pewarta foto bekerja dengan kamera analog yang menggunakan film gulung. Kamera seperti Nikon FM2, Canon AE-1, atau Leica M6 menjadi andalan mereka. Berat, kokoh, dan murni mekanik. Tidak ada tombol otomatis, tidak ada layar pratinjau — semua mengandalkan mata, rasa, dan pengalaman.
Setiap gulungan film hanya berisi 24 atau 36 jepretan. Itu artinya, setiap kali menekan tombol rana, pewarta foto harus berpikir cepat dan tepat. Tidak ada kesempatan kedua, tidak ada fitur delete. Jika salah eksposur atau fokus meleset, seluruh momen bisa hilang begitu saja.
Usai memotret di lapangan, pekerjaan mereka belum selesai. Justru, bagian paling rumit baru saja dimulai: memproses film di kamar gelap. Di ruang sempit dengan lampu merah redup, pewarta foto menyiapkan cairan pengembang, fixer, dan air pencuci. Aroma kimia yang menyengat menjadi bagian dari keseharian mereka.
Film digulung, dimasukkan ke dalam tabung besi, lalu direndam dengan cairan pengembang. Waktu rendaman harus tepat — terlalu lama bisa membuat gambar gosong, terlalu singkat bisa membuat negatif terlalu terang. Setelah itu film dibilas, dikeringkan, dan baru kemudian dicetak di atas kertas foto dengan menggunakan pembesar (enlarger).
Di ruang itu, gambar yang tadinya tersembunyi di gulungan film perlahan muncul di permukaan kertas. Sebuah keajaiban kecil dari dunia fotografi. Banyak pewarta foto yang menggambarkan momen itu sebagai “saat paling magis” — ketika cahaya berubah menjadi cerita.
Menembus Batas: Di Lapangan yang Penuh Risiko
Menjadi pewarta foto di era film bukan hanya soal teknis, tapi juga soal ketangguhan. Mereka harus siap berada di garis depan — di tengah hujan, asap gas air mata, atau bahkan bahaya tembakan.
Mereka tidak hanya memotret, tapi juga berlari dari kejaran massa, memanjat bangunan, atau menyelinap ke lokasi kejadian untuk mendapat sudut pandang terbaik. Tak jarang, hasil jepretan mereka menjadi bukti sejarah yang tak ternilai — seperti foto kerusuhan Mei 1998, tragedi tsunami Aceh 2004, atau momen-momen penting lainnya yang mengguncang hati bangsa.
Namun setelah semua itu, perjuangan belum berakhir. Film yang berisi foto-foto berharga itu harus dibawa kembali ke kantor redaksi secepat mungkin. Di masa itu, pewarta foto kadang menggunakan kurir motor, bahkan pesawat untuk mengirim film ke redaksi pusat. Semuanya berpacu dengan waktu dan risiko.
Awal Era Digital: Perubahan yang Mengguncang Dunia Redaksi
Memasuki akhir 1990-an hingga awal 2000-an, dunia fotojurnalistik Indonesia mulai berubah. Kamera digital hadir membawa revolusi. Pewarta foto kini tak lagi bergulat dengan film, kamar gelap, atau cairan kimia.
Kamera DSLR seperti Canon EOS, Nikon D70, dan Sony Alpha mulai menjadi perlengkapan wajib. Pewarta foto bisa langsung melihat hasil jepretan di layar kecil di belakang kamera. Tak perlu menunggu berjam-jam untuk mengetahui apakah gambar mereka berhasil atau tidak.
Lebih dari itu, teknologi digital mempercepat alur kerja di redaksi. Pewarta foto kini bisa mengirim gambar dalam hitungan menit lewat laptop dan koneksi internet. Redaktur foto bisa langsung memilih, mengedit warna, menyesuaikan kontras, dan memuatnya di portal berita atau halaman depan koran edisi berikutnya.
Tapi perubahan ini juga membawa dilema. Di satu sisi, kecepatan menjadi nilai utama. Di sisi lain, muncul pertanyaan baru tentang otentisitas foto. Dengan kemudahan editing, garis batas antara penyempurnaan teknis dan manipulasi digital menjadi semakin tipis.
Para pewarta foto pun dihadapkan pada tantangan baru: menjaga integritas visual di tengah derasnya arus teknologi.
Era Smartphone: Semua Orang Bisa Jadi Pewarta
Kini, dengan hadirnya smartphone berkamera canggih, dunia jurnalisme visual memasuki babak baru. Hampir setiap orang bisa menjadi pewarta foto dalam hitungan detik. Hasil jepretan ponsel kini bisa menyaingi kualitas kamera profesional.
Bagi media, ini adalah kemudahan luar biasa. Pewarta bisa melaporkan peristiwa langsung dari lokasi tanpa harus membawa perlengkapan besar. Bahkan, di situasi genting seperti bencana atau kerusuhan, kamera ponsel sering kali menjadi senjata utama untuk mengabadikan momen berharga.
Namun, di balik kemudahan itu, ada tantangan besar: membedakan antara foto jurnalisme dan foto biasa. Pewarta foto sejati tidak hanya menekan tombol shutter, tapi juga memahami konteks, komposisi, etika, dan makna di balik setiap gambar.
Dari Kamar Gelap ke Dunia Tanpa Batas
Perjalanan pewarta foto adalah kisah tentang transformasi tanpa henti. Dari gulungan film yang harus dicuci dengan sabar di kamar gelap, hingga kini ketika sebuah foto bisa dikirim ke redaksi hanya dalam sekejap.
Namun di tengah segala kemajuan itu, satu hal tetap tak berubah: jiwa jurnalisme visual. Pewarta foto sejati tidak sekadar merekam gambar, tapi menceritakan kebenaran melalui cahaya.
Mereka adalah penjaga sejarah visual bangsa — saksi yang merekam peradaban, satu jepretan demi satu jepretan.
Tinggalkan Balasan