Marknews.id – Ruang redaksi kini lebih sepi dari biasanya.  Suara ketikan keyboard tak  terdengar bersahutan. Dulu, meja-meja di sana dipenuhi wartawan yang berpacu dengan tenggat cetak. Kini, sebagian besar berita justru lahir dari ruang digital  diketik, disunting, dan disebarkan dalam hitungan menit melalui portal dan media sosial.

Begitulah wajah baru media massa hari ini. Era digital telah mengubah hampir seluruh anatominya. Tak hanya cara bekerja, tapi juga cara bertahan hidup.

Ketika Semua Orang Jadi Wartawan

Tak perlu kartu pers untuk menyebarkan berita. Cukup ponsel dan koneksi internet. Siapa pun bisa melaporkan, mengomentari, bahkan “membongkar” isu publik. Media sosial seperti X (Twitter), Instagram, TikTok, dan Facebook telah menjadi arena baru bagi perang narasi.

Kecepatan menjadi mata uang utama. Namun di balik derasnya arus itu, keakuratan sering kali tercecer. Hoaks, potongan video yang menyesatkan, hingga opini tanpa dasar logika kerap menyaru sebagai kebenaran.

Di sinilah peran media arus utama diuji: apakah masih mampu menjadi mercusuar di tengah kabut informasi?

“Publik kini tidak sekadar membaca berita. Mereka ikut membentuknya,” kata seorang redaktur senior sebuah media nasional. “Masalahnya, tidak semua punya standar verifikasi.”

Rebutan Perhatian di Dunia Maya

Media massa kini berkompetisi bukan hanya sesama mereka, tapi juga dengan algoritma. Berita harus tampil menarik, clickable, dan sejalan dengan selera mesin. Judul sensasional kerap menggoda, namun di sisi lain, kredibilitas menjadi taruhannya.

Dulu, pembaca membayar koran karena percaya. Kini, mereka membaca gratis, tapi sering “membayar” dengan data pribadi yang dikumpulkan platform digital.

Sementara kue iklan yang dulu menopang media kini berpindah ke tangan raksasa teknologi seperti Google dan Meta. Redaksi yang dulu penuh wartawan kini berhemat, sebagian bahkan menutup pintu.

Transformasi dan Dilema

Bertahan berarti berubah. Banyak media mulai berinvestasi di ruang digital: memperkuat visual storytelling, membangun podcast, dan memperkaya liputan investigatif berbasis data.

Namun transformasi ini bukan tanpa dilema. Di satu sisi, tuntutan kecepatan menekan ruang refleksi. Di sisi lain, idealisme jurnalistik harus berhadapan dengan kebutuhan algoritma.

“Kalau berita terlalu lambat, kalah dengan media sosial. Tapi kalau tergesa, bisa kehilangan makna,” ujar seorang jurnalis muda.

Kembali ke Esensi: Kepercayaan

Di tengah hiruk pikuk digital, kepercayaan adalah komoditas paling langka. Pembaca tak lagi mudah percaya, mereka bisa memverifikasi sendiri. Karena itu, media yang bertahan bukan yang paling cepat, tapi yang paling bisa dipercaya.

Tanggung jawab media kini bukan hanya menyajikan fakta, tapi juga menuntun publik menafsirkan realitas. Di sinilah nurani jurnalistik berperan.

Mesin algoritma mungkin tahu apa yang kita sukai, tapi hanya manusia yang tahu apa yang penting.

Arah Baru Media

Masa depan media massa bukan sekadar soal teknologi, tapi tentang relevansi. Media yang bertahan adalah yang mampu menautkan jurnalisme dengan publiknya: hadir di berbagai platform, tapi tetap teguh pada etika.

Jurnalisme mungkin akan semakin digital, tapi nilai-nilainya harus tetap analog  jujur, adil, dan berimbang.

Seperti kata pepatah lama di ruang redaksi: “Teknologi boleh berubah, tapi kebenaran tak bisa ditawar.”

Dan selama masih ada yang berani menuliskannya, media  bagaimanapun bentuknya  akan selalu punya masa depan.

Reporter: M Saifullah Rifat

Tag