Marknews.id – Bakiak atau theklek adalah sandal kayu dengan tali dari ban bekas, sederhana tapi penuh makna. Di balik bentuknya yang keras dan berat, tersimpan sejarah panjang tentang kesederhanaan, kebersamaan, dan kearifan lokal yang pernah begitu kuat di masyarakat, terutama di lingkungan pesantren.
Asal-Usul Bakiak
Bakiak diyakini berakar dari budaya Jawa pada awal abad ke-20. Pada masa itu, masyarakat pedesaan memanfaatkan bahan yang ada di sekitar mereka. Kayu, yang mudah ditemukan, dijadikan alas, sementara ban bekas—hasil dari kendaraan roda dua atau gerobak—dimanfaatkan sebagai pengikat kaki. Praktik ini mencerminkan kreativitas dan semangat ngirit (hemat) dalam kehidupan rakyat.
Seiring berkembangnya pesantren sebagai pusat pendidikan Islam tradisional, bakiak masuk menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari para santri. Praktis, tahan lama, dan mudah dibuat, bakiak menjadi pilihan ideal di pesantren yang menekankan kesederhanaan hidup.
Bakiak di Pesantren dan Masjid
Di pesantren kuno, bakiak bukan sekadar alas kaki, tetapi sarana ibadah. Para kiai dan santri biasa mengenakan bakiak saat menuju masjid atau musala. Suara khas “kletek-kletek” bakiak yang menghentak lantai menciptakan suasana religius sekaligus akrab. Masjid-masjid desa pun menyediakan bakiak untuk jamaah, khususnya saat berwudhu. Dengan begitu, bakiak menjadi bagian dari “suara keseharian” pesantren: sederhana, merakyat, dan penuh kebersamaan.
Bakiak juga mengandung nilai filosofis. Kesederhanaannya sejalan dengan ajaran zuhud: tidak berlebihan dalam dunia, cukup dengan yang ada, asal bisa memenuhi fungsi. Para kiai yang memakai bakiak memberi teladan nyata bahwa ibadah tidak membutuhkan kemewahan.
Pergeseran dan Kepunahan
Memasuki era modern, bakiak mulai ditinggalkan. Sandal berbahan karet atau plastik lebih ringan, empuk, dan dianggap lebih praktis. Masjid-masjid yang dulu menyediakan bakiak kini beralih ke sandal modern. Santri dan jamaah pun lebih suka memakai sandal pribadi yang lebih nyaman. Akibatnya, bakiak perlahan hanya menjadi kenangan, bahkan banyak anak muda yang tidak pernah melihat apalagi memakainya.
Bakiak Sebagai Simbol Budaya
Meski jarang digunakan lagi, bakiak menyimpan nilai penting sebagai warisan budaya. Ia merepresentasikan kesederhanaan hidup pesantren, kreativitas masyarakat dalam memanfaatkan barang bekas, serta simbol kebersamaan umat. Hilangnya bakiak bukan hanya pergantian bentuk alas kaki, melainkan juga tanda pergeseran gaya hidup dari tradisi menuju modernitas.
Mengingat bakiak berarti merawat sejarah dan identitas budaya yang pernah tumbuh di masyarakat Muslim Indonesia. Ia bukan sekadar sandal, tetapi sebuah penanda zaman: bahwa kesederhanaan dan kebersamaan pernah hidup erat dalam denyut kehidupan pesantren.
Tinggalkan Balasan Batalkan balasan