MARKNEWS.ID , YOGYAKARTA – Seratus hari pertama pemerintahan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka menuai sorotan dari akademisi Universitas Gadjah Mada (UGM). Sejumlah dosen mengkritisi kebijakan di bidang hukum, ekonomi, dan politik yang dinilai masih belum menunjukkan arah yang jelas serta menghadapi tantangan implementasi.

Dalam diskusi bertajuk Pojok Bulaksumur pada Jumat (7/2/2025), Mada Sukmajati, dosen Departemen Politik dan Pemerintahan FISIPOL UGM, menyoroti ketidakjelasan dalam pelaksanaan program prioritas pemerintah seperti makan siang bergizi gratis, pemeriksaan kesehatan gratis, dan pembangunan sekolah unggul.

“Dalam 100 hari pertama, desain kebijakan seharusnya sudah jelas, tetapi implementasinya masih parsial. Bahkan dalam beberapa aspek, mekanisme pelaksanaannya masih belum diketahui,” ujar Mada.

Ia juga mempertanyakan tingkat kepuasan publik yang mencapai 80 persen terhadap pemerintahan Prabowo-Gibran. Menurutnya, perlu analisis lebih lanjut apakah angka tersebut mencerminkan optimisme masyarakat atau dipengaruhi oleh metode survei yang digunakan.

Mada menyoroti kebijakan Presiden Prabowo yang mengandalkan jejaring militer dalam mendukung distribusi program pemerintah, seperti makan siang gratis. Ia mengakui pendekatan ini wajar mengingat keterbatasan jaringan politik dan birokrasi, tetapi mengingatkan adanya potensi tantangan dalam aspek hukum dan demokrasi.

Di sisi lain, Hendry Noor Julian, dosen Fakultas Hukum UGM, menyoroti melemahnya sistem check and balance dalam pemerintahan saat ini. Ia mengacu pada teori Donald Black dalam The Behavior of Law, yang menyebutkan bahwa kedekatan politik dapat melemahkan efektivitas hukum. Dominasi koalisi di parlemen dikhawatirkan mengurangi pengawasan terhadap kebijakan pemerintah.

“Alih-alih menjadi mekanisme kontrol, hubungan antara eksekutif dan legislatif saat ini lebih menyerupai kemitraan,” kata Hendry.

Hendry juga menyinggung pernyataan Presiden Prabowo terkait kemungkinan memaafkan koruptor yang mengembalikan uang negara. Menurutnya, kebijakan tersebut berpotensi menimbulkan polemik dalam penegakan hukum dan keadilan.

Sementara itu, di sektor ekonomi, Yudistira Hendra Permana, ekonom UGM, mengkritisi kebijakan penghapusan utang UMKM, petani, dan nelayan. Ia menilai langkah ini lebih bersifat jangka pendek dibanding solusi fundamental bagi pertumbuhan ekonomi.

“Apakah ini merupakan strategi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi atau justru indikasi bahwa pemerintah mulai kehabisan opsi?” tanyanya.

Ia juga menyoroti pemangkasan anggaran di berbagai sektor sebagai dampak dari defisit fiskal yang membesar. Menurutnya, target pertumbuhan ekonomi 8 persen dalam lima tahun ke depan terlalu ambisius, terutama di tengah perlambatan ekonomi global dan tekanan deflasi yang dialami Indonesia dalam beberapa bulan terakhir.

“Tanpa strategi konkret dan kebijakan ekonomi yang lebih terstruktur, capaian 8 persen tampaknya sulit terealisasi,” pungkasnya.

Kritik dari akademisi UGM ini mencerminkan evaluasi kritis terhadap arah kebijakan pemerintahan Prabowo-Gibran di awal kepemimpinannya. Tantangan implementasi serta keberlanjutan kebijakan akan menjadi faktor penting dalam menilai keberhasilan program-program unggulan yang telah dijanjikan pemerintah.

Editor: M Amin
Reporter: M Saifullah Rifat