Revolusi Kopi: Dari Lodhong ke Latte Art

Marknews.id – Ada yang berubah dari cara kita meminum kopi. Dulu, kopi adalah teman ngobrol, penghangat pagi, pengikat pertemanan. Kini, ia menjadi gaya hidup lengkap dengan nama asing dan aroma industrial. Tapi, mengapa perubahan ini disebut revolusi kopi?
Mari kita mundur sejenak, ke masa ketika “ngopi” belum berarti nongkrong di kafe berpendingin udara.
Masih teringat aroma kopi hitam dari warung-warung pinggir jalan. Warung yang sederhana—meja panjang, bangku kayu, dan deretan lodhong berisi camilan: peyek, emping, sagon kering, singkong goreng alias balok, hingga limpang-limpung, si telo pendem goreng yang gurih. Di balik meja, ibu penjualnya duduk di lingkaran berbentuk huruf U, menjaga bara api dan obrolan para pelanggan agar tetap hangat.
Di warung seperti ini, tak ada yang hanya memesan air putih. Minuman paling umum adalah teh panas dalam cangkir blirik hijau-putih, lengkap dengan gula yang belum diaduk. Teh yang tersisa akan “didekok” lagi, ditambah air panas agar tetap hangat. Teh poci hanya muncul di rumah, disajikan untuk tamu istimewa.
Tapi di antara harum teh, kopi juga punya tempat tersendiri.
Pesanan kopi di warung rakyat tak pernah rumit. Tak ada pilihan “Arabica” atau “Robusta”. Cukup bilang, “Kopi manis, Bu.” Dua sendok kopi bubuk merek Thio dari Gondomanan masuk ke gelas besar, disusul gula, lalu diseduh air mendidih. Gelasnya dilap dengan serbet khusus—yang konon tak boleh dipakai untuk melap piring—lalu ditutup rapat hingga uapnya berhenti menari.
Di Wirobrajan, ada Pak Wongso. Ia dikenal sebagai pedagang kopi legendaris di warung kecil di tepi jalan RE Martadinata. Ia punya aturan baku yang tak boleh dilanggar dalam membuat kopi. “Urutannya kudu bener,” katanya. “Lap gelas, isi gula, baru kopi.”
Kopi racikan Pak Wongso istimewa bukan karena mereknya, tapi karena bara arang yang dicelupkan ke dalamnya. Orang menyebutnya kopi jos. Asap mengepul, suara kecil “cesss” menandai kopi siap dinikmati. Rasanya? Pahit, manis, hangat—dan sedikit aroma arang yang khas. Setelah lima menit, kopi baru boleh diaduk.
Di tempat lain warung Pak No di Sriwedani atau Yu Ngapak di Jalan S. Parman—ritualnya serupa. Tak ada yang terburu-buru. Ngopi adalah soal waktu, bukan sekadar minum.
Kini, coba bandingkan dengan suasana kafe masa kini.
Kopi diseduh dengan alat presisi. Bubuknya ditimbang, airnya diukur, dan hasilnya disaring sempurna tanpa ampas. Gelas besar berganti cangkir mungil porselen, kadang dihiasi latte art berbentuk hati. Tak ada bara arang, tak ada lodhong peyek. Yang ada, bunyi mesin espresso dan orang-orang yang sibuk dengan layar ponsel.
Obrolan tentang “nomor buntutan Nalo” atau cerita tetangga kini tergantikan dengan meeting santai atau update Instagram Story. Kopi yang dulu jadi perekat sosial, kini lebih sering jadi latar estetika.
Harga secangkir kopi pun melonjak berkali lipat. Dulu, uang seribu bisa dapat kopi, gorengan, dan obrolan hangat. Sekarang, harga secangkir bisa setara uang belanja harian.
Inilah revolusi kopi bukan sekadar perubahan rasa, tapi perubahan budaya.
Dari warung yang beraroma bara dan tawa, menuju kafe beraroma wangi mesin dan kesunyian digital.
Namun satu hal tak berubah: kopi masih jadi alasan untuk berhenti sejenak dari hiruk-pikuk hidup. Entah disajikan dalam gelas blirik di warung Yu Ngapak, atau dalam cangkir porselen dengan tulisan single origin Ethiopia—kopi tetap punya caranya sendiri untuk membuat kita duduk, merenung, dan tersenyum.
“Ngopi nggih?”
Dulu jawabannya sederhana: “Nggih.”
Sekarang, mungkin harus dijawab: “Arabica atau Robusta. Atau dengan nama-nama yang sangat bervariasi dan terdengar asing di telinga.”