Klithikan Dul Pasar, Jejak Nostalgia di Balik Lampu Senthir

Marknews.id – Malam di Yogyakarta tahun-tahun 1970-an bukan hanya milik warung kopi dan pedagang angkringan. Di sudut-sudut kota, tepat ketika jam dinding menunjuk pukul delapan malam, lampu-lampu minyak mulai menyala bukan petromax yang gemerlap, tapi senthir kecil yang cahayanya bergetar diterpa angin malam. Dari balik cahaya temaram itulah denyut pasar klithikan atau pasar barang bekas mulai hidup.
Di sepanjang Jalan Pabringan, sebelah selatan Pasar Beringharjo, aroma oli bercampur debu besi menyeruak. Di sinilah para pencari onderdil sepeda, jam tangan rusak, atau fitting listrik berkumpul. Mereka menuntun sepeda, berhenti di depan lapak sederhana, dan mulai menawar barang-barang yang entah berfungsi atau hanya tinggal kenangan.
“Bos ini masih jalan, tapi kabelnya kudu diganti,” kata seorang pedagang, menunjuk dinamo sepeda merek Bosch merek yang kala itu begitu kondang, sampai banyak orang Jogja menyebut dinamo sepeda cukup dengan nama bos.
Pasar Senthir: Di Bawah Cahaya yang Menelanjangi Cacat Kain
Tak jauh dari sana, di Jalan Limaran dan Jalan Suryotomo, hiruk pikuk lain bergema. Deretan pakaian bekas dari berbagai penjuru kota digantung di tali tambang, diterangi lampu teplok dan senthir. Dari sinilah muncul istilah Pasar Senthir, karena pembeli akan nyenthiri atau menerawang pakaian bekas dengan cahaya lampu kecil itu memastikan tak ada sobekan, tisik, atau noda yang luput dari pandangan.
“Sar-Thir,” begitu orang Jogja menyebutnya akronim dari Pasar Senthir. Sebuah nama yang lahir dari keseharian, dari obrolan ringan antar pembeli dan pedagang yang kini menjadi legenda urban Yogyakarta.
Dari Turutan hingga Obeng Drei
Kalau di kawasan Tamansari, yang dijual bukan onderdil, melainkan buku-buku. Di bawah naungan pohon besar, tampak anak-anak sekolah dasar menawar buku pelajaran bekas, sementara di pojokan lain, ibu-ibu mencari buku Turutan Qoidah Baghdadiyah panduan membaca huruf hijaiyah sebelum era buku Iqra’ tiba.
Sementara di Dul Pasar sebutan akrab untuk wilayah selatan Pasar Beringharjo lapak-lapak kecil menjajakan drei (obeng), kunci pas, kunci ring, schaklar, hingga stop kontak. Pasar ini berdenyut hanya sebentar. Jam sembilan malam suasana mulai sepi, dan setengah jam kemudian, hanya tinggal sisa-sisa lampu minyak yang mulai padam.
Dari Beringharjo ke Kuncen
Waktu berjalan, modernisasi menggulung semuanya. Ketika proyek penataan kota mulai digalakkan, pasar-pasar malam itu satu per satu tergusur. Para pedagang klithikan digiring masuk ke area belakang Beringharjo, lalu pada 2007 dipindahkan ke lokasi baru Pasar Klithikan Kuncen.
Gedungnya memang lebih rapi, atapnya tak lagi bocor, tapi banyak pengunjung merasa ada yang hilang. Tak ada lagi aroma oli, tak ada lagi tawa pedagang yang bercampur dengan bunyi obeng jatuh di lantai. “Pasar Klithikan sekarang bersih, tapi rasanya ora klithikan maneh,” ujar seorang pengunjung setia sambil tersenyum getir.
Beberapa pedagang sempat mencoba peruntungan di Jalan Mangkubumi (sekarang Margo Utomo, Kidul Tugu), namun akhirnya semua digiring ke Kuncen. Dan lucunya, hanya orang luar Jogja yang menyebutnya Pasar Pakuncen sebab bagi wong asli Jogja, cukup Pasar Klithikan Kuncen saja.
Jejak yang Masih Tersisa
Kini, jika rindu pada suasana masa lalu itu, datanglah ke belakang Pasar Buah Gamping. Di sanalah sisa aroma klithikan masih berhembus pelan. Parkirkan motor atau sepeda Anda, lalu berjalanlah perlahan. Mungkin Anda akan menemukan kunci pas berkarat, piring email yang retak, atau jam tangan tua yang jarumnya sudah berhenti tapi setiap barang punya cerita, dan setiap cerita menunggu untuk dihidupkan kembali.
Klithikan bukan sekadar pasar barang bekas. Ia adalah cermin nostalgia Yogyakarta kota yang selalu pandai menyimpan kenangan dalam setiap cahaya senthir yang berpendar lembut di malam hari.