Bu Sekda Kena Razia Becak: Ketika Hansip Tak Tahu Ibu Negara-nya Gedong Pracimosono

Marknews.id – Siang itu matahari sedang gagah-gagahnya. Langit Jogja biru terang, dan panasnya memantul dari aspal Jalan Mataram pintu timur kompleks Kepatihan. Di sisi jalan, becak-becak berjejer di bawah naungan pohon, sementara para pegawai berjalan cepat menembus terik menuju kantornya masing-masing.
Di depan gerbang, seorang Hansip berdiri tegak. Wajahnya serius, kacamata hitam menambah wibawa seolah sedang menjaga pintu kerajaan.
Sebuah becak meluncur pelan dari arah selatan, lalu berhenti tepat di hadapan gerbang. Di kursinya duduk seorang perempuan paruh baya dengan dandanan sederhana, wajah teduh, dan senyum ramah. Tapi yang paling mencuri perhatian bukan penampilannya melainkan tumpukan belanjaan di pangkuannya: tas kain, plastik warna-warni, dan bungkusan batik yang menggembung.
Ketika becak hendak masuk ke area Kepatihan, suara berat sang Hansip memecah suasana siang yang terik:
“Becak nggak boleh masuk, Bu. Harus turun di sini.”
Si ibu mengangguk, tanpa protes sedikit pun. Ia turun perlahan, membayar tukang becak, lalu menenteng semua belanjaannya satu per satu. Terik matahari menyengat, tapi langkahnya mantap menuju dalam kompleks Kepatihan.
Yang Hansip tidak tahu, perempuan sederhana itu bukan sembarang ibu belanja dari Beringharjo.
Ia adalah istri Sekretaris Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta!
Belanjaan yang Bikin Geger
Kisah ini terjadi sekitar tahun 2004. Saat itu, Sekretaris Daerah DIY dijabat oleh Ir. Bambang Susanto Priyohadi, MPA, sosok yang dikenal sederhana dan “nguwongke wong”. Mantan Kepala Kanwil Departemen Pekerjaan Umum itu gemar makan siang bersama staf di basement Kepatihan bahkan sering ngopi bareng wartawan tanpa jarak.
Suatu Sabtu pagi yang kala itu masih hari kerja istrinya, Bu Bambang, datang dari Jakarta. Ia ingin menjenguk suami, sekaligus melepas rindu berbelanja di Malioboro.
Begitu masuk Pasar Beringharjo, matanya berbinar seperti anak kecil di toko permen. Kain batik, tas rajut, lurik, sandal kulit semua menggoda. Dalam waktu setengah jam, kedua tangannya sudah penuh kantong belanja. Tukang becak yang mengantar sampai geleng-geleng sambil berseloroh:
“Lho, Bu, iki tuku opo kulakan?”
(“Lho, Bu, ini belanja atau kulakan dagangan?”)
Bu Bambang hanya tertawa. Ia memang gemar belanja, tapi tidak suka pamer. Setelah puas, ia meminta diantar ke Gedong Pracimosono, kantor sang suami, dengan rencana sederhana: belanjaannya langsung dimasukkan ke mobil dinas Pak Sekda.
Namun, begitu becak tiba di gerbang timur Kepatihan di Jalan Mataram, petugas jaga segera menghadang:
“Maaf, Bu, becak nggak boleh masuk kawasan dalam. Silakan jalan kaki.”
Dan begitulah: siang yang panas itu, istri Sekda DIY berjalan kaki di bawah matahari terik, menenteng belanjaan dari pasar menuju kantor suaminya.Kejutan di Gedong Pracimosono
Beberapa menit kemudian, Bu Bambang tiba di ruang Sekda dengan napas sedikit terengah. Para staf sontak kaget melihat pemandangan itu.
“Lho, Bu, kok jalan kaki? Mana sopirnya?”
Bu Bambang menjawab santai sambil menyeka keringat,
“Becaknya nggak boleh masuk, jadi ya jalan.”
Begitu kabar ini sampai ke telinga Pak Sekda, ruang kantor mendadak riuh oleh tawa. Bukannya marah, Pak Bambang malah ngakak keras.
“Apik kuwi! Hansipnya disiplin. Untung nggak dikira pedagang kain keliling!”
Hari itu suasana Gedong Pracimosono benar-benar cair. Beberapa wartawan yang sedang mampir Mas Giarto, Mas Hasan, Mas Azzam, dan saya ikut terpingkal mendengar ceritanya.
Ketika kami bertanya, “Bu Bambang kenapa nggak bilang kalau beliau istri Sekda?”
Bu Bambang menjawab polos,
“Lha, buat apa? Wong aturannya memang nggak boleh becak masuk.”
Pelajaran dari Gerbang Mataram
Beberapa hari kemudian, cerita itu beredar ke seluruh Kepatihan bukan sebagai gosip, tapi sebagai anekdot yang lucu sekaligus bermakna.
Hansip yang menegur tak pernah dimarahi. Malah, konon Pak Sekda meminta stafnya menyampaikan salam dan ucapan terima kasih.
“Itu baru penjaga yang tanggung jawab,” katanya.
Sejak itu, kisah “Bu Sekda kena razia becak” menjadi legenda kecil di lingkungan Pemda DIY. Tiap kali ada pembahasan tentang kedisiplinan pegawai, selalu ada yang nyeletuk:
“Pokoké disiplin kayak Hansip sing ora ngerti Bu Sekda, kuwi lho!”
Jogja dan Sifat Istimewanya
Jogja selalu punya cara unik untuk mengajarkan nilai besar lewat hal kecil.
Dari cerita sederhana ini, kita belajar bahwa aturan bisa tegak tanpa kekerasan, dan jabatan bisa tinggi tanpa kehilangan kerendahan hati.
Bu Sekda tidak tersinggung, Hansip tidak takut, dan Pak Sekda malah bangga.
Semua berjalan apa adanya seperti Jogja, yang tetap istimewa tanpa perlu berusaha tampak istimewa.
Dan di antara sekian banyak kisah lucu dari masa lalu Kepatihan, mungkin inilah yang paling membekas:
tentang seorang istri pejabat yang jalan kaki di bawah terik matahari, membawa belanjaan penuh,
dan seorang Hansip yang teguh menjaga aturan tanpa tahu bahwa yang dihentikannya adalah “ibu negara”-nya Gedong Pracimosono.