Hidup di Jalan Ngaji: Takdzim Tanpa Taklid Buta

Marknews.id, Kotagede — kampung masa kecilku — adalah tempat di mana masjid berdiri di hampir setiap sudut, dan semangat Muhammadiyah terasa dalam setiap napas warganya. Sejak kecil aku tumbuh di lingkungan yang tertib, rasional, dan modernis. Tapi, entah mengapa, hatiku justru selalu tertarik pada para kiai kharismatik dari kalangan Nahdlatul Ulama.
Ada rasa damai setiap kali menatap wajah teduh mereka. Nama-nama seperti almaghfurlah KH Marzuqi Romli dari Giriloyo, KH Hasan Mangli dari Ngablak Magelang, hingga Abuya Dimyati dari Banten seolah menjadi cahaya penuntun yang menembus logika. Dari mereka aku belajar bahwa ilmu bukan sekadar kata, tapi pancaran dari akhlak.
Rumah yang Menjadi Pesantren
Tahun 2002, niat lama itu akhirnya menemukan jalannya. Aku memutuskan untuk mondok — bukan meninggalkan keluarga, melainkan mengajak mereka ikut menapaki jalan ilmu. Rumah kami di Wonokromo, Pleret, Bantul, berubah menjadi rumah santri.
Siang aku bekerja, malamnya serambi rumah menjadi tempat mengaji. Kami membuka kitab-kitab kuning yang aromanya khas: Ta‘limul Muta‘allim, Fathul Muin, Riyadhus Sholihin, hingga Minhajul Abidin. Seusai Isya ada ngaji bandongan, malam Jumat bershalawat, membaca Al-Barzanji. Hidup sederhana, tapi penuh makna.
Sembilan tahun lamanya aku jalani laku itu. Hingga suatu hari guruku berkata lembut namun dalam:
“Siapa yang mengejar akhirat, dunia akan datang padanya. Tapi siapa mengejar dunia, akhirat akan pergi darinya.”
Kalimat itu menancap dalam. Aku belajar bahwa hidup untuk ngaji bukan berarti melarikan diri dari dunia, tapi menata dunia agar berpihak pada akhirat.
Ojo Taklid Buta
Sembilan tahun kemudian, akumelanjutkan perjalanan ke Pesantren Krapyak, berguru kepada almaghfurlah KH Zainal Abidin Munawwir. Dari beliau aku belajar bukan hanya tafsir, tapi juga sikap.
Suatu pagi di bulan Ramadan, beliau berkata dengan nada lembut namun tegas:
“Santri ki ojo taklid buta. Kejobo urusan ibadah mahdhoh, kudu niru gurune. Tapi nek urusan dunia, ora kudu. Kiai-mu ngerokok, ojo langsung niru. Kowe ora ngerti maksude.”
Hormat bukan berarti menutup mata. Takdzim bukan berarti mematikan akal.
Aku belajar untuk diam tanpa tunduk membuta, menolak dengan sopan tanpa memberontak. Jika ada dawuh yang belum bisa aku jalankan, aku cukup berkata pelan, “Kulo dereng saget nglampahi, Yai.”
Bertemu Samudra Kasih
Tahun 2004, aku bekerja sebagai jurnalis di Solo. Di sanalah takdir mempertemukanku dengan seorang wali besar: Habib Anis bin Alwi Al Habsyi, cucu dari penulis Simtuddurror, Habib Ali bin Muhammad Al Habsyi dari Seiwun, Hadramaut.
Pertemuan itu mengubah arah hidupku.
Habib Anis bukan hanya ulama besar, tapi samudra kasih. Tatapannya menundukkan ego, ucapannya menenangkan jiwa. Sejak itu, setiap menjelang Zuhur aku mengikuti rauhah di Masjid Riyadh, Pasar Kliwon. Di sana aku mengenal Habib Novel Alaydrus, Habib Najib, dan Habib Syech. Hidupku seperti dialiri sungai berkah yang tak pernah kering.
Setelah Habib Anis wafat pada 2006, aku melanjutkan ngaji kepada putranya, Habib Hasan bin Anis. Bersama beliau, kami membaca Manhajus Sawi, Shahih Bukhari, hingga Ihya Ulumuddin.
Perjalanan rohani itu kemudian membawaku ke Purworejo, berguru kepada Abuya Thoifur Mawardi dari PP Darut Tauhid Kedungsari. Setiap Jumat pagi kami ngaji dengan penuh kesederhanaan. Suatu hari, saat gerakan 212 mengguncang Jakarta, Abuya berkata bahwa Rasulullah merestui gerakan itu.
Tanpa banyak tanya, aku berangkat ke Jakarta. Bukan untuk berdemo, tapi untuk tabarrukan — mencari barokah, menjadi saksi sejarah di jalan yang diridhai.
Ngaji yang Menata Hidup
Tahun-tahun berikutnya aku sempat rutin ngaji kepada Gus Baha di Bedukan, Bantul, hingga pandemi membuat majelis itu berhenti sementara. Kini, aku rutin menghadiri majelis Habib Novel di Solo dan KH Ahmad Haedar Idris di Wonosobo. Dua puluh tiga tahun sudah perjalanan ini berlangsung — dan jalan ngaji itu tak pernah berhenti.
Ngaji bukan hanya memperluas pengetahuan, tapi juga menata kehidupan.
Rumah tanggaku tenang, rezeki cukup, anak-anak tumbuh dalam cinta ilmu. Tiga-tiganya mondok — dua di Pandanaran dan Kalibeber, satu di Al-Qodir. Aku tahu, semua itu bukan karena kepintaranku, tapi karena barokah guru.
Guru bukan sumber cahaya, melainkan cermin yang memantulkan cahaya Allah.
“Santri sing nggawe pinter ki Gusti Allah, dudu gurune,” kata salah satu guru.
Orang ngaji tidak mudah marah, tidak gampang suudzon. Sebab hati yang dekat dengan Allah selalu menemukan jalan keluar.
Takdzim Bukan Taklid Buta
Aku makin paham, takdzim bukan tunduk membabi buta. Gus Mus pernah berkata:
“Takdzim bukan mematikan akal. Kalau semua diserahkan tanpa berpikir, itu bukan adab — itu perbudakan batin.”
Adab dan akal bukan musuh, tapi dua sayap menuju kebijaksanaan. Adab menjaga akal agar tidak liar, akal menjaga adab agar tidak beku.
Begitu pula dawuh Gus Dur yang selalu kuingat:
“Tradisi itu bukan untuk dipertahankan mati-matian, tapi dikembangkan dengan jiwa.”
Jiwa dari takdzim sejati adalah cinta — bukan ketakutan.
Maka ketika ada tayangan televisi yang melecehkan pesantren, aku hanya tersenyum getir. Mereka tak tahu, di balik kesederhanaan santri, ada lautan ilmu dan adab yang menjaga negeri ini dari kehancuran moral.
Hidup di Jalan Ilmu
Dua puluh tiga tahun aku jalani hidup di jalan ilmu, berpegang pada satu kata: barokah.
Tak ada yang sia-sia. Setiap langkah, setiap kitab yang dibuka, setiap sujud di serambi pesantren, menjadi saksi bahwa hidup ini bukan untuk mengejar dunia — melainkan mencari ridha Allah.
Hidup fi sabilillah bukan slogan. Ia perjalanan panjang, sunyi, tapi penuh cahaya.
Dan selama napas masih berhembus, aku ingin tetap menjadi wong ngaji — yang hormat kepada guru, berpikir dengan akal sehat, dan mencintai ilmu karena Allah semata.