Beranda Jogja Tempo Doeloe Pasar Ngasem: Dari Kicau Burung ke Kicau Canda Tawa
Jogja Tempo Doeloe

Pasar Ngasem: Dari Kicau Burung ke Kicau Canda Tawa

Oleh : Muh Syaifullah, jurnalis

Marknews.id, Yogyakarta – Pagi di Ngasem, dahulu, selalu dimulai dengan kicau burung yang bersahutan dari setiap sudut kios. Matahari baru menyentuh atap-atap seng, ketika para pedagang menggantung sangkar-sangkar kayu di depan lapak mereka. Di bawahnya, anak-anak kecil berlarian mengejar anak kelinci yang lepas, sementara suara tawar-menawar bercampur dengan tawa dan aroma kopi dari warung di pojok pasar.

Burung kenari menjerit nyaring, perkutut mendesah lembut, sementara di kejauhan seekor beo memekikkan kata-kata lucu yang membuat siapa pun tersenyum. Pasar Ngasem, kala itu, adalah kerajaan kecil bagi para pecinta hewan, tempat setiap kicauan dan gerak sayap menjadi bagian dari denyut hidup Yogyakarta.

Bagi warga kota, pasar ini bukan hanya tempat jual beli — melainkan panggung pertemuan dan persaudaraan. Di sana, para penghobi burung bertukar cerita, para perajin sangkar berbagi rezeki, dan para pelintas menikmati hiruk pikuk yang khas. Setiap sudut menyimpan kisah, setiap kios menyimpan kenangan.

Namun waktu terus berjalan, dan Yogyakarta menata dirinya. Ketika kawasan Tamansari — istana air peninggalan Sultan Hamengkubuwono I — mulai digarap menjadi kawasan wisata budaya, pemerintah memutuskan untuk memindahkan aktivitas jual beli hewan ke tempat baru: PASTY (Pasar Satwa dan Tanaman Hias Yogyakarta) di Jalan Bantul.

Hari itu, ketika sangkar-sangkar terakhir diangkat dan suara kicau perlahan memudar, Ngasem seperti menahan napas panjang. Kesunyian menggantikan keramaian. Tempat yang dulu riuh dengan kehidupan tiba-tiba terasa lengang. Tetapi Jogja, dengan segala kearifannya, tak pernah membiarkan sejarahnya hilang begitu saja.

Bangunan pasar tua itu dirawat dan diberi wajah baru. Pasar Ngasem kini bertransformasi menjadi ruang kuliner dan wisata budaya, yang menawarkan kehangatan dalam bentuk berbeda. Di siang hari, pengunjung dapat mencicipi makanan khas Yogyakarta di deretan kios yang tertata rapi. Malam hari, suasananya berubah menjadi lebih romantis — lampu-lampu taman menyala lembut, suara gitar akustik mengalun, dan aroma sate serta kopi berpadu dengan semilir angin dari arah Tamansari.

Kini, Pasar Ngasem menjadi titik temu masa lalu dan masa kini. Dari arah timur, tampak megah dinding Tamansari yang setia menjadi latar; dari arah barat, kuliner dan karya anak muda menghidupkan suasana. Di antara keduanya, berdiri sebuah ruang publik yang ramah — tempat warga dan wisatawan duduk, berbincang, tertawa, dan mengenang.

Sesekali, orang tua yang dulu menjadi pedagang burung datang berkunjung. Mereka berdiri diam, menatap sekeliling, lalu tersenyum lirih. “Dulu di sini saya jual kenari,” kata salah satu dari mereka, matanya menerawang jauh. Seakan suara burung-burung itu masih bergema di langit pasar, hanya saja kini digantikan oleh tawa anak muda dan denting gelas kopi.

Ngasem hari ini memang tak lagi berkicau, tapi ia tetap bernyanyi. Nadanya lebih lembut, lebih teduh, tapi masih menyimpan irama yang sama: irama kehidupan kota yang tahu caranya menjaga kenangan.

Di bawah bayang Tamansari yang kokoh, Pasar Ngasem menjadi simbol keteguhan Yogyakarta — kota yang tidak pernah kehilangan jiwa, meski waktu terus berganti. Karena bagi Jogja, setiap perubahan bukanlah akhir, melainkan babak baru dari cerita yang selalu ingin dikenang.

Sebelumnya

KAI Tingkatkan Loyalitas Pelanggan Lewat Penukaran Railpoin di Aplikasi Access by KAI

Selanjutnya

Gus Hilmy Kecam Tayangan Trans7 yang Dinilai Lecehkan Pesantren: “Ini Melukai Martabat Santri dan Kiai”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Mark News