Beranda Jogja Tempo Doeloe Festival Kesenian Yogyakarta: Dari Gemuruh Panggung ke Rindu yang Tersisa
Jogja Tempo Doeloe

Festival Kesenian Yogyakarta: Dari Gemuruh Panggung ke Rindu yang Tersisa

Ilustrasi

Marknews.id – Yogyakarta selalu punya cara untuk memanggil ingatan, terutama bagi mereka yang pernah menyaksikan lahirnya sebuah perayaan besar bernama Festival Kesenian Yogyakarta (FKY). Gelarannya pertama kali diadakan pada tahun 1989, bersamaan dengan peresmian Monumen Jogja Kembali — sebuah momentum bersejarah yang bukan hanya menandai berdirinya monumen itu, tetapi juga kelahiran festival seni yang kelak menjadi ikon kota budaya ini.

Pada masa-masa awal, FKY berlangsung di Alun-alun Utara, dibiayai oleh Pemerintah Daerah Dati I DIY, dan digelar setiap bulan Juni hingga Juli. Kala itu, semangatnya begitu terasa: sebuah perayaan kolaboratif antara seniman, budayawan, dan masyarakat. Lalu di FKY keempat, muncul pula Festival Kebudayaan yang diinisiasi oleh Samirin, Asisten Sekwilda DIY. Dua festival ini berjalan beriringan — namun, seperti banyak kisah idealisme budaya, yang satu akhirnya tak sanggup bertahan.

“Saya ingat betul, saya pernah meliput keduanya,” kenang seorang jurnalis sekaligus pelaku seni yang pernah menjadi bagian dari FKY.
“Jadi ketika ada yang bilang FKY dulu sempat berganti nama jadi Festival Kebudayaan Yogyakarta, saya bisa pastikan — tidak. Keduanya sempat hidup berdampingan.”

Puncak Kejayaan dan Jejak Godod Sutedjo

FKY mencapai puncak kejayaannya pada FKY VIII, ketika Wakil Presiden Try Sutrisno hadir membuka secara resmi. Kala itu, festival terasa megah dan bergengsi. Tak sedikit seniman ternama ambil bagian, salah satunya Godod Sutedjo (almarhum), perupa kondang yang ikut memberi warna kuat pada perhelatan tersebut.

“Saya sendiri waktu itu dilibatkan di bidang seni rupa, membantu pelaksanaannya bersama Godod,” kenangnya.

Namun di balik kemegahan itu, perlahan muncul tanda-tanda kejenuhan. Semakin besar FKY, semakin jauh pula dari akar yang dulu menumbuhkannya. Bahkan sempat hadir penampilan seni dari luar negeri, hingga orang-orang bergurau menyebutnya:

“Festival Seni seko Ngendi-endi” — festival seni dari mana saja.

Kirab, Angkringan, dan Wangi Parfum Isi Ulang

FKY selalu punya tradisi pembuka yang meriah: kirab budaya. Salah satu yang paling berkesan terjadi pada FKY XXVI, yang digelar 20 Agustus hingga 9 September 2014, dengan Pasar Ngasem sebagai lokasi utama.

Saat itu, kirab dimulai dari Jalan Jenderal Soedirman, menyeberang Jembatan Kewek, menuju Tugu, lalu berbelok ke selatan ke Jalan Mangkubumi (kini Margo Utomo). Prajurit Kraton Yogyakarta, Prajurit Pakualaman, bahkan rombongan dari Sumenep ikut berbaris. Tak ketinggalan barisan angkringan keliling, ikut berpawai dalam suasana penuh tawa dan aroma kopi joss yang mengepul.

Namun setelah itu, semangat FKY terasa menurun.
“Saya sempat berhenti meliput,” ujar sang penulis. “Tak ada hal baru. Tak ada pementasan seni yang membuat dada bergemuruh. Semua seperti pengulangan tanpa jiwa.”

Bahkan ketika FKY XXVIII dibuka di Taman Kuliner Condongcatur, ia memilih untuk tidak menonton. “Padat, tak tertata,” katanya lirih.

Salah satu hal yang kerap luput dari perhatian panitia, menurutnya, adalah kenyamanan pengunjung — terutama soal parkir.
“Motor ditumpuk, susah keluar, petugasnya tak membantu. Hal kecil, tapi mematikan suasana.”

Berubah Wajah, Hilang Rasa

Kini, FKY berpindah-pindah lokasi — bergantian ke berbagai kabupaten dan kecamatan di DIY. Apakah itu buruk? Tidak juga. Justru bagus untuk memberi ruang bagi seniman daerah. Namun bagi sebagian orang, ada rasa yang hilang.

“Seperti ngrayah gunungan di balai desa,” ujarnya. “Ramai, tapi ada yang tak lagi sama. Mirip parfum isi ulang — tetap wangi, tapi KW. Seperti naik mobil kuno, tapi mesinnya sudah swap engine.”

FKY mungkin masih ada. Tapi bagi mereka yang pernah menyaksikan denyut awalnya, festival itu bukan sekadar agenda tahunan. Ia adalah kenangan, tempat seni bernafas bersama masyarakat — tanpa sekat, tanpa label, tanpa sponsor yang terlalu bising.

Kini, yang tersisa hanyalah rindu.
Rindu akan FKY yang dulu: sederhana, jujur, tapi penuh jiwa.

Sebelumnya

KAI Daop 5 Purwokerto Hadirkan “Healthy Train”, Perjalanan Sambil Belajar Hidup Sehat

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Mark News