Tiga Rumah Sakit Bernama “Mangku”

Marknews.id – Pada dekade 1960 hingga 1980-an, Kota Yogyakarta yang kala itu resmi disebut Pemerintah Daerah Tingkat II Kotamadya Yogyakarta memiliki sejumlah rumah sakit milik pemerintah yang tersebar di berbagai penjuru kota. Fasilitas kesehatan tersebut tidak terpusat di satu lokasi, melainkan hadir di tengah kampung, di balik gedung-gedung tua, serta di antara lorong-lorong yang kini mungkin sudah tak dikenali lagi.
Zaman itu, pelayanan kesehatan di kota pelajar ini begitu beragam. Ada rumah sakit umum, rumah sakit khusus, hingga balai kesehatan sederhana yang menjadi andalan warga. Misalnya, Rumah Sakit Mata di Lodji Ketjil sekarang dikenal sebagai Jalan Mayor Suryotomo dan Rumah Sakit Paru-paru Dokter Samalo yang dulu berdiri megah di Jalan Malioboro, bersebelahan dengan Gereja Kristen Advent Hari Ketujuh. Kini, tempat itu telah berganti rupa menjadi Malioboro Mall.
Sementara itu, di tingkat kecamatan, pelayanan kesehatan masih mengandalkan BKIA (Balai Kesehatan Ibu dan Anak). Gedungnya sederhana, sering menumpang di kompleks kantor kecamatan atau kemantren. Di Wirobrajan, misalnya, BKIA menempati sisi barat Pendopo Sindurejan bangunan lawas yang dindingnya disekat gedheg bambu.
Barulah di era 1970-an, konsep Puskesmas mulai nyata hadir. Salah satu yang paling dikenal waktu itu adalah Puskesmas Lowanu, di sebelah barat Jembatan Tungkak (kini Jalan Kolonel Sugiono). Pada masa itu, Puskesmas Lowanu sudah cukup modern bahkan mendapat izin mengeluarkan surat keterangan sehat untuk syarat pembuatan SIM.
Namun, di antara semua rumah sakit yang pernah berdiri di Yogyakarta, ada tiga yang punya kesamaan menarik: semuanya diawali dengan nama “Mangku.”
Ada Rumah Sakit Mangkubumen, yang berdiri di nDalem Mangkubumen, kawasan Ngasem. Gedung klasik ini kemudian beralih fungsi menjadi SMA Mataram, lalu menjadi kampus Universitas Widya Mataram. Di masanya, RS Mangkubumen dikenal sebagai rumah sakit pendidikan.
Kemudian Rumah Sakit Mangkuyudan, yang terletak di Kampung Mangkuyudan kini bangunannya masih berdiri kokoh, digunakan untuk layanan bersalin dan pendidikan kesehatan di bawah Poltekkes.
Dan satu lagi, Rumah Sakit Mangkuwilayan di kawasan Nagan, yang sebenarnya bernama RS Pudyowaluyo. Namun warga tetap menyebutnya dengan nama kampungnya: RS Mangkuwilayan. Setelah lama terbengkalai, kini gedung itu menjadi SMP Negeri 16 Yogyakarta.
Ketiga rumah sakit “Mangku” ini, bersama beberapa rumah sakit pendidikan lain seperti RS Mata Lodji Ketjil dan RS Pugeran (yang kini menjadi SMA Negeri 7), akhirnya dilebur ke dalam satu kompleks besar di barat Fakultas Kedokteran UGM. Di sanalah berdiri RS UGM, yang kemudian diresmikan menjadi RSUP Dr. Sardjito pada 8 Februari 1982.
Dengan berdirinya RS Sardjito, babak baru pelayanan kesehatan akademik di Yogyakarta dimulai. UGM kemudian meneruskan langkah itu dengan mendirikan Rumah Sakit Akademik (RSA) UGM di Kronggahan, Sleman menjawab kebutuhan tempat pendidikan kedokteran yang semakin meningkat.
Dalam laman resminya, RSA menulis alasan pendiriannya:
“Rumah sakit sebagai tempat pendidikan klinis harus dikembangkan atau ditambah kapasitasnya. Selain itu, perkembangan pelayanan rumah sakit di dunia mengarah pada pelayanan terpadu, multiprofesional, dan komprehensif. Untuk itu, diperlukan rumah sakit yang mampu menjawab tantangan tersebut dan unggul di bidang pelayanan, pendidikan, dan riset.”
Kini, sejarah tiga rumah sakit “Mangku” itu tinggal jejak di dinding tua, papan nama yang memudar, dan cerita warga yang masih ingat masa ketika Yogyakarta punya rumah sakit di setiap kampung besar.
Sebuah pengingat bahwa wajah pelayanan kesehatan di Jogja yang kini modern dan berteknologi tinggi pernah tumbuh dari gedung-gedung sederhana di kampung yang hangat, dengan nama yang penuh makna: Mangku.