Beranda Jogja Tempo Doeloe Ketika Jogja Menunggu Rajanya Kembali ke Kursi Gubernur
Jogja Tempo Doeloe

Ketika Jogja Menunggu Rajanya Kembali ke Kursi Gubernur

Gambar : Visiting Jogja

Marknews.id – Yogyakarta — Pada awal Oktober 1988, kabar duka datang dari Washington D.C. Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta yang juga tokoh besar republik, berpulang untuk selamanya.
Kabar itu mengguncang Yogyakarta — bukan sekadar kehilangan seorang raja, tapi juga sosok negarawan yang selama puluhan tahun menjadi jembatan antara tradisi dan pemerintahan.

Sejak saat itu, kursi Gubernur DIY kosong. Dan kekosongan itu berlangsung lama — hampir sepuluh tahun, sampai akhirnya Sri Sultan Hamengku Buwono X dilantik menjadi Gubernur pada 1998.

Yang Kosong Itu Gubernur, Bukan Wakil Gubernur

Dalam sistem pemerintahan saat itu, posisi Wakil Gubernur DIY dijabat oleh Sri Paduka Paku Alam VIII.
Secara otomatis, beliau menjalankan tugas-tugas pemerintahan sehari-hari. Namun, sebagaimana dikisahkan para pejabat senior waktu itu, Paku Alam VIII selalu menegaskan satu hal dengan nada hormat:

“Yang kosong itu jabatan gubernur, bukan wakil gubernur.”

Kalimat itu mencerminkan kesadaran sejarah yang dalam. Sejak awal berdirinya Republik Indonesia, DIY memiliki struktur kepemimpinan dwitunggal, di mana Sultan yang bertakhta menjabat sebagai Gubernur, dan Paku Alam sebagai Wakil Gubernur.
Namun setelah wafatnya HB IX, mekanisme otomatis itu tidak lagi diakui oleh pemerintah pusat.

Mengapa Tak Langsung Dilantik

Setelah tahun 1988, pemerintah pusat di bawah Presiden Soeharto memberlakukan sistem birokrasi daerah yang seragam.
Semua kepala daerah — termasuk Gubernur — harus diangkat melalui usulan DPRD dan disetujui Presiden, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah.

Padahal, sejak kemerdekaan, dasar hukum keistimewaan Yogyakarta sudah sangat jelas:

  1. Piagam Penetapan Presiden RI, 19 Agustus 1945 – menetapkan bahwa:

    “Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII diangkat sebagai Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta.”

  2. Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1950 – menegaskan kedudukan DIY sebagai daerah istimewa dengan Gubernur dan Wakil Gubernur yang dijabat oleh Sultan dan Paku Alam.

  3. Namun, tidak ada aturan eksplisit mengenai suksesi bila Sultan atau Paku Alam wafat.
    Inilah celah hukum yang kemudian membuat pengangkatan HB X tertahan.

Karena itulah, meskipun Sri Sultan HB X telah naik takhta di Keraton sejak 7 Maret 1989, pemerintah pusat tidak langsung mengangkatnya sebagai Gubernur.
Pemerintah Orde Baru khawatir, penetapan otomatis bisa dianggap mewariskan jabatan pemerintahan secara turun-temurun — sesuatu yang bertentangan dengan prinsip birokrasi negara saat itu.

Sepuluh Tahun Paku Alam Memimpin

Dalam suasana politik yang kaku itu, Sri Paduka Paku Alam VIII memegang kendali pemerintahan DIY selama hampir sepuluh tahun (1988–1998).
Beliau dikenal sebagai pemimpin yang sabar dan bijaksana — menjaga keseimbangan antara menghormati Sultan muda dan menjalankan amanat negara.

Sementara itu, Sri Sultan Hamengku Buwono X menata Keraton dan menyiapkan diri. Ia memilih jalan sepi: menghormati proses politik, tidak mendesak pelantikan, dan menjaga martabat tradisi Yogyakarta.

Reformasi Membuka Jalan

Baru setelah angin Reformasi 1998 berembus, arah sejarah berubah. Pemerintahan pusat mulai mengakui kembali nilai keistimewaan daerah.
Melalui proses politik baru di DPRD dan dukungan masyarakat luas, Sri Sultan Hamengku Buwono X akhirnya dilantik sebagai Gubernur DIY, didampingi oleh Sri Paduka Paku Alam IX sebagai Wakil Gubernur.

Dari sinilah tradisi dwitunggal Sultan–Paku Alam hidup kembali secara resmi.
Pengakuan formal atas warisan itu kemudian ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta, yang menyatakan:

“Gubernur DIY dijabat oleh Sultan yang bertakhta dan Wakil Gubernur oleh Adipati Paku Alam yang bertakhta.”

Pelajaran dari Waktu yang Panjang

Sepuluh tahun masa kekosongan gubernur menjadi cermin bagi Yogyakarta — bahwa kesetiaan pada tata dan tradisi bisa berdampingan dengan kesabaran politik.
Sri Sultan HB X tidak menuntut, Paku Alam VIII tidak merebut, dan Jogja tetap berjalan dengan tenang.

Kini, setiap kali upacara pelantikan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY berlangsung, sejarah panjang itu selalu terasa di udara.
Jogja pernah menunggu rajanya kembali ke kursi gubernur — dan ketika waktu itu tiba, sejarah pun berpihak pada kesetiaan.

Dasar Hukum Terkait

  1. Piagam Penetapan Presiden Republik Indonesia, 19 Agustus 1945

  2. Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1950 tentang Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta

  3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah (rezim Orde Baru)

  4. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta

Sebelumnya

Yang Kosong Itu Jabatan Gubernur, Bukan Wakil Gubernur

Selanjutnya

Tips Praktis Membersihkan Paralon Saluran Air yang Mampet, Bisa Dikerjakan Sendiri

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Mark News