Beranda Jogja Tempo Doeloe Yang Kosong Itu Jabatan Gubernur, Bukan Wakil Gubernur
Jogja Tempo Doeloe

Yang Kosong Itu Jabatan Gubernur, Bukan Wakil Gubernur

Ilustrasi

Marknews.id – Suatu pagi di tahun 1990-an, halaman Kepatihan Yogyakarta tampak lebih sibuk dari biasanya. Di bawah langit yang masih lembut, wartawan sudah berkumpul sejak matahari naik setinggi pohon asam di pojokan halaman Gedong Wilis.

Hari itu seorang menteri kabinet berkunjung ke Daerah Istimewa Yogyakarta. Namanya sudah terpampang di papan agenda Pracimosono kantor Sekwilda DIY dan juga di Gedong Pacar, kantor protokol yang jadi “pusat radar” kegiatan pejabat daerah.

Begitu iring-iringan mobil dinas menteri masuk dengan bunyi sirene khas “tot tot wuk wuk”, wartawan pun langsung bereaksi. Wartawan foto berebut posisi, menembakkan tiga atau empat jepretan hemat peluru, sebab zaman itu masih pakai roll film. Sementara wartawan tulis, termasuk saya, memilih strategi klasik: menempel di dinding kayu Gedong Wilis, mengandalkan telinga.

Di dalam, Sri Paduka Pakualam VIII menyambut tamunya dengan senyum aristokrat, sepatu mengkilat, dan gaya khas bangsawan Yogyakarta. Beliau saat itu menjabat sebagai Penjabat (Pj.) Gubernur DIY, menggantikan Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang telah wafat beberapa tahun sebelumnya. Hampir sepuluh tahun beliau memegang tampuk itu, menunggu penetapan resmi sebagai Sultan HB X dilantik jadi Gubernur DIY.

Obrolan berlangsung akrab: mulai pembangunan, olahraga panahan, sampai potensi wisata. Namun di tengah perbincangan, sang menteri tiba-tiba menyelipkan satu saran dengan nada halus tapi tegas:

“Sri Paduka, mungkin sudah saatnya diajukan calon Wakil Gubernur DIY ya. Jabatan itu kan sudah kosong cukup lama.”

Sri Paduka tersenyum tipis. Ia menatap tamunya dengan mata tenang, lalu berkata pelan namun tegas:

“Yang kosong itu jabatan Gubernur, bukan Wakil Gubernur. Jadi yang perlu diisi, ya jabatan Gubernurnya.”

Seketika suasana hening sejenak. Sang menteri tampak terdiam, lalu mengangguk-angguk kecil barangkali sedang mencerna maksudnya. Mungkin juga baru teringat, atau memang belum tahu, bahwa secara tradisional Gubernur DIY dijabat oleh Sultan, sedangkan Paku Alam memang menduduki posisi Wakil Gubernur.

Kami para wartawan yang “nguping” di balik dinding kayu hampir tak bisa menahan senyum. Tapi tentu saja, tak ada yang berani menulis bagian itu. Waktu itu redaksi saya hanya berpesan singkat:

“Yang soal jabatan kosong itu, jangan ditulis dulu ya…”

Tak ada larangan resmi, tapi semua paham: ada hal-hal di Jogja yang lebih elok disimpan dulu di hati, bukan di halaman koran.

Bertahun-tahun kemudian, saya bertemu lagi dengan Kepala Biro Humas Setda DIY yang dulu enggan dikonfirmasi. Kini beliau sudah naik jabatan menjadi Asisten Sekwilda. Dengan nada santai ia berkata,

“Waktu itu Sri Paduka memang benar bilang begitu, Mas.”Saya tersenyum. Cerita yang dulu sempat jadi bisik-bisik itu kini tinggal kenangan manis seperti wedang ronde di sore hari: hangat, lembut, dan meninggalkan rasa Jogja yang tak pernah hilang, meski waktu terus berjalan.

Sebelumnya

Taman Tegallega Bandung: Ruang Hijau Penuh Sejarah dan Aktivitas Seru untuk Semua Kalangan

Selanjutnya

Ketika Jogja Menunggu Rajanya Kembali ke Kursi Gubernur

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Mark News