Garis Lurus dari Tugu ke Monjali: Saat Yogyakarta Menyatukan Langit, Raja, dan Rakyat

Marknews.id – Yogyakarta selalu punya cara sendiri dalam menyimpan sejarah tidak dalam buku, melainkan dalam ruang, arah, dan garis. Dari selatan, sebuah garis imajiner membentang dari Panggung Krapyak, menembus Keraton, lalu berakhir di Tugu Pal Putih, yang dulu disebut De Witte Paal. Garis itu bukan sekadar bentangan lurus di peta; ia adalah napas dari filsafat Jawa: hubungan harmonis antara manusia, alam, dan Sang Pencipta.
Empat puluh tahun silam, garis itu menjadi alasan berdirinya sebuah monumen di utara kota. Namanya: Monumen Jogja Kembali atau lebih akrab disebut Monjali.
Namun di balik megahnya bangunan berbentuk kerucut yang kini menjadi ikon wisata sejarah, tersimpan kisah yang jarang diketahui: tentang bagaimana sekelompok orang berdebat, menghitung arah, dan menegakkan makna di atas tanah yang bukan sekadar lahan kosong.
Pertemuan di Teras Gedong Wilis
Awal 1985. Di teras Gedong Wilis, kompleks Kepatihan Yogyakarta, angin sore membawa aroma tanah basah selepas hujan. Sejumlah tokoh berseragam sipil dan militer duduk berhadapan dengan Sri Paduka Pakualam VIII, Wakil Gubernur DIY saat itu. Mereka datang bukan sekadar “sowan”, melainkan membawa satu misi: memastikan tempat yang tepat untuk membangun monumen perjuangan nasional.
Ketua Panitia Pembangunan, Brigjen (Purn) Marsudi, berbicara dengan nada hati-hati. Kadang dalam bahasa Indonesia, kadang beralih ke Belanda, mengingat sebagian pembicara adalah generasi yang tumbuh di masa kolonial.
Wartawan yang meliput hanya bisa mendengarkan dari kejauhan, mencatat potongan-potongan kalimat yang serius dan penuh makna.
“Monumen ini, Sri Paduka,” kata Marsudi, “tidak boleh berdiri sembarangan. Ia harus menjadi lanjutan dari Tugu. Garisnya harus lurus ke utara.”
Bukan Sekadar Pilihan Lahan
Bagi sebagian orang, keputusan membangun Monjali di Dusun Jongkang, Sariharjo, Ngaglik, Sleman mungkin terdengar sederhana toh lahan seluas hampir 6 hektare itu masih kosong dan mudah diakses. Tapi bagi Marsudi dan panitia, arah adalah segalanya.
Mereka tahu, jika monumen dibangun terlalu dekat ke jalan utama yang kini dikenal sebagai Jalan Palagan Tentara Pelajar, maka garis imajiner dari Tugu ke utara akan sedikit bergeser ke timur.
Dalam pandangan Jawa, itu bukan sekadar soal orientasi geografis, melainkan soal keselarasan kosmos. Yogyakarta dibangun di atas filosofi: dari selatan (laut) menuju utara (gunung), manusia bergerak menempuh perjalanan spiritual menuju kesempurnaan.
Maka, monumen perjuangan ini pun harus mengikuti garis itu sebagai perpanjangan dari Tugu dan simbol semangat bangsa yang tak terputus.
Dari Tugu ke Monjali, Menembus Waktu
Tanggal 29 Juni 1985, di bawah langit cerah Yogyakarta, dua tokoh penting hadir dalam upacara peletakan batu pertama: Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paduka Pakualam VIII.
Empat tahun kemudian, Presiden Soeharto meresmikan bangunan itu pada 6 Juli 1989.
Gagasan Monjali sendiri berasal dari Kolonel (Purn) Sugiarto, yang ingin mengabadikan momen bersejarah: kembalinya Yogyakarta sebagai ibu kota Republik Indonesia setelah pasukan Belanda menarik diri pada 29 Juni 1949. Hari itu, rakyat dan pejuang bersorak, menyambut kembalinya simbol kedaulatan republik muda.
Bentuk bangunan Monjali menyerupai kerucut besar, mirip gunung bukan tanpa alasan. Dalam pandangan budaya Jawa, gunung adalah lambang keteguhan dan pengorbanan. Dari gununglah manusia belajar tentang keseimbangan dan ketenangan batin.
Kerucut itu seolah mengingatkan bahwa perjuangan menuju kemerdekaan adalah perjalanan spiritual yang menanjak: berat, sunyi, tetapi menuju puncak.
Menghidupkan Kembali Kenangan
Masuk ke dalam Monjali, pengunjung disambut udara sejuk dan keheningan. Di dinding luar, relief-relief menuturkan kisah perjuangan rakyat Indonesia: dari masa penjajahan hingga proklamasi kemerdekaan.
Di bagian dalam, diorama-diorama karya Kasman KS, seniman asal Padang yang lama bermukim di Yogyakarta, menghadirkan suasana nyata dari masa revolusi: rapat rahasia, serangan gerilya, hingga detik kembalinya Sang Merah Putih ke tiang istana.
Setiap langkah di dalam Monjali seperti mengajak kita melintasi waktu dari masa perang menuju masa damai. Di puncak bangunan, api abadi menyala, melambangkan semangat yang tak pernah padam.
Sumbu Imajiner dan Sumbu Ingatan
Kini, jika kita berdiri di pelataran Monjali dan memandang ke selatan, garis lurus itu terasa jelas: Tugu, Keraton, hingga Panggung Krapyak. Sebuah garis yang bukan hanya menghubungkan ruang, tetapi juga mengikat makna antara langit, raja, dan rakyat.
Monumen Jogja Kembali bukan hanya pengingat masa lalu, melainkan penanda arah bahwa setiap bangsa butuh sumbu untuk tidak kehilangan keseimbangannya. Seperti Yogyakarta yang menolak berdiri miring, bangsa ini pun harus tetap tegak lurus pada cita-cita kemerdekaan.
Dua simbol itu saling menatap dari kejauhan seolah berbisik satu sama lain tentang perjalanan panjang negeri ini. Dan di antara keduanya, di sepanjang garis imajiner yang menembus kota, kita belajar satu hal sederhana: bahwa sejarah bukan hanya tentang apa yang terjadi, tetapi tentang bagaimana kita menempatkan diri dalam garis yang benar.