Beranda Jogja Tempo Doeloe Jejak Perpustakaan yang Hilang dari Malioboro: Rumah Sunyi Para Pembaca Kecil Jogja
Jogja Tempo Doeloe

Jejak Perpustakaan yang Hilang dari Malioboro: Rumah Sunyi Para Pembaca Kecil Jogja

Ilustrasi

Marknews.id – Di tengah hiruk-pikuk Malioboro yang kini gemerlap dengan toko dan wisatawan, pernah berdiri sebuah ruang sunyi yang dipenuhi imajinasi. Tepat di depan Hotel Garuda, berdiri Perpustakaan Negara — kini lebih dikenal sebagai Library Center. Dulu, tempat itu bukan sekadar gudang buku, melainkan rumah bagi anak-anak Jogja yang belajar mencintai ilmu pengetahuan di tengah denyut kota yang romantis.

Pada mulanya, ruang baca untuk anak dan remaja menyatu di lantai satu gedung utama. Rak-rak kayu berjajar rapi, dengan buku-buku yang sampulnya mulai pudar namun tetap menggoda untuk dibuka. Sekitar tahun 1975, perpustakaan itu menambah ruang khusus di belakang gedung utama—tak besar, mungkin hanya enam puluh meter persegi. Tapi di sanalah dunia baru terbuka bagi kami.

Setiap pagi hingga malam, ruang itu tak pernah benar-benar sepi. Anak-anak datang silih berganti: mencari buku pelajaran, kisah petualangan, hingga buku hobi dan pengetahuan umum. Untuk menjadi anggota, kami harus mendaftar resmi—mengambil formulir, meminta stempel sekolah, lalu menunggu kartu anggota. Rasanya seperti mendapat izin istimewa untuk masuk ke dunia ajaib.

Saya masih ingat, bersama dua sahabat SMP—Tri Jauhari (kelak bekerja di TVRI Bandung) dan Hugo Nurprilla (yang kemudian menjadi Kasi Tramtib Kecamatan Nanggulan, almarhum)—kami menghabiskan waktu di sana. Belakangan, Raju, anak pemilik Toko Bharat di sebelah selatan perpustakaan, ikut bergabung. Kami berempat seperti penghuni tetap ruang baca itu.

Namun Jogja masa itu punya lebih dari satu rumah baca. Kami juga menjadi anggota Perpustakaan Kedaulatan Rakyat (KR) di belakang kantor redaksinya. Untuk masuk, kami harus melewati gerbang merah dan membayar iuran Rp10 per bulan—jumlah yang terasa besar bagi anak SMP.

Penjaganya, Mas Supadi D. Noyo—yang kemudian saya kenal sebagai Supadhie Adhisupho, atau akrab disapa Paman Adhi—adalah sosok tegas tapi hangat. Koleksi buku di KR berbeda: tak banyak komik, namun penuh cerita, novel, dan bacaan sastra.

“Ben sregep maca, ora ndelok gambar,” ujarnya suatu kali, menasihati seorang anak kecil yang kecewa karena tak menemukan komik di rak.
(“Biar rajin membaca, bukan cuma melihat gambar.”)

Biasanya, kami berangkat dari Ketanggungan menuju KR di siang hari, lalu menjelang sore pindah ke Perpustakaan Negara. Dua tempat, dua dunia. Di KR kami boleh meminjam tiga buku selama seminggu, sementara di Perpustakaan Negara hanya satu. Tapi itu cukup. Dua hari sekali kami pasti kembali—karena di antara bau kertas dan debu, kami menemukan kebahagiaan yang tak tergantikan.

Selain dua perpustakaan itu, ada pula Perpustakaan Islam di Toko Champion, di Jalan Mangkubumi (kini Margo Utomo), tepat di selatan kantor Kedaulatan Rakyat. Ruang bacanya kecil namun berwibawa, dengan koleksi yang menitikberatkan pada bacaan keislaman dan sejarah.

Sementara satu lagi adalah Perpustakaan Islam yang menjadi bagian dari Museum Perjuangan Islam milik Pak Malikus Suparto di Jalan Patangpuluhan. Di rumahnya yang sekaligus museum itu, tersimpan berbagai dokumen, buku perjuangan, dan karya tokoh-tokoh Islam Indonesia. Tempatnya tenang, teduh, dan memancarkan semangat literasi yang berbeda dari perpustakaan umum lain.

Sayangnya, seperti banyak kisah indah masa lalu lainnya, perpustakaan-perpustakaan itu perlahan menghilang. Memasuki era 1990-an, satu per satu menutup pintunya. Perpustakaan Anak-Anak, KR, Perpustakaan Islam di Mangkubumi, maupun Perpustakaan Islam Patangpuluhan—semuanya lenyap dari peta kota. Bahkan Perpustakaan Hatta di Jalan Solo, yang dulu menjadi kebanggaan Yogyakarta, ikut gulung tikar.

Kini, yang tersisa hanyalah kenangan—dan mungkin, aroma samar buku tua yang masih tertinggal di ingatan.
Di tengah gegap gempita Malioboro hari ini, nyaris tak ada yang tahu bahwa di tempat itu dulu pernah berdiri sebuah rumah sunyi tempat anak-anak Jogja belajar membaca dunia.

Sebelumnya

Kisah dari Kepatihan: Nguping di Balik Dinding Kayu Gedong Wilis (Era 1980-an)

Selanjutnya

Hidup di Jalan Ngaji: Takdzim Tanpa Taklid Buta

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Mark News