Beranda Jogja Tempo Doeloe Kisah dari Kepatihan: Nguping di Balik Dinding Kayu Gedong Wilis (Era 1980-an)
Jogja Tempo Doeloe

Kisah dari Kepatihan: Nguping di Balik Dinding Kayu Gedong Wilis (Era 1980-an)

Ilustrasi

Oleh : Agus U, jurnalis

Catatan klasik jurnalis senior

Marknews.id – Pagi di Kepatihan, Yogyakarta, selalu dimulai dengan langkah kaki yang tenang. Di balik pagar besi dan pepohonan tua yang menaungi halaman luas itu, berdiri megah Gedong Wilis, bangunan kolonial berarsitektur Jawa yang menjadi pusat denyut pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta.

Tahun-tahun itu—1980-an—adalah masa ketika birokrasi masih terasa hangat dan manusiawi. Di dalam kompleks Kepatihan, tidak hanya Gedong Wilis berdiri, tapi juga deretan bangunan lain yang menjadi kantor instansi-instansi pemerintahan DIY. Suasananya khas: campuran antara wibawa pemerintahan dan keakraban khas Jogja.

Ruang-Ruang Kekuasaan

Di sisi timur Gedong Wilis, terdapat nDalem Ageng, bangunan tua yang menjadi saksi kesederhanaan para pemimpin. Di dalam Gedong Wilis sendiri, hanya ada dua ruangan penting: satu besar digunakan oleh Kepala Daerah, dan satu lagi kecil namun padat berkas dan buku, milik Wakepda, KGPAA Paku Alam VIII.

Kala itu, sebutan resminya masih “Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta.” Baru kemudian, di akhir dekade itu, istilah berubah menjadi “Gubernur dan Wakil Gubernur Daerah Tingkat I DIY.”

Namun bagi mereka yang bekerja di sana, perubahan nama jabatan tak pernah mengubah suasana Gedong Wilis: khidmat, tertata, dan penuh tata krama.

Bangsal, Pringgitan, dan Kuncung

Bagi wartawan yang bertugas meliput kegiatan pemerintahan, Kepatihan bukan sekadar tempat kerja—ia adalah sekolah kehidupan.

Kegiatan resmi sering berlangsung di Bangsal Kepatihan, ruang luas dengan tiang-tiang kayu jati yang mengilat. Kadang, acara berpindah ke Pringgitan, bagian utara Bangsal yang lantainya sedikit lebih rendah hingga ke pintu utama nDalem Ageng.

Dan jangan keliru, bagian paling depan Bangsal disebut Kuncung. Di situlah tamu-tamu pertama kali menyapa udara Jogja sebelum masuk ke ruang utama.

Bagi jurnalis muda tahun-tahun itu, mengenal istilah-istilah ini seperti memahami anatomi kekuasaan Jawa—halus, tapi penuh makna.

Nguping di Balik Dinding Kayu

Di era 1980-an, wartawan masih diperbolehkan meliput langsung saat KGPAA Paku Alam VIII menerima tamu di teras Gedong Wilis. Tak ada pagar besi pembatas, tak ada larangan merekam.

Dinding kayu berwarna kuning gading menjadi saksi bisu dari banyak percakapan penting. Di balik dinding itulah para wartawan duduk diam, “mepet tembok,” menajamkan telinga. Semua pembicaraan bisa terdengar jelas. Tak ada istilah off the record kala itu—setiap kata yang terucap bisa jadi berita.

“Nguping” menjadi bagian dari seni liputan. Para wartawan tahu kapan harus menulis, kapan harus diam, dan kapan cukup mendengar.

Sementara fotografer resmi seperti Mas Karno, Mas Dadang, Mas Rosadi (Kabul), dan Pak Iskandar dari Biro Humas Setda DIY, setia duduk di kursi sebelah timur, kamera tergantung di leher, menunggu momen penting.

Jika pertemuan tertutup, staf protokol akan menutup pintu Gedong Wilis dengan sopan tapi tegas. Namun lucunya, sering kali wartawan sendiri yang enggan meliput—terutama bila tamunya orang asing. Bahasa Inggris, Prancis, atau Belanda terdengar dari teras, sementara Sri Paduka berbicara tanpa penerjemah satu pun.

Setelah usai, para wartawan akan menyerbu tamu itu, menanyakan isi pertemuan—dengan gaya khas wartawan Jogja: santun tapi penasaran.

Papan Tulis Agenda dan “Courtesy Call”

Siapa tamu hari itu? Apa agenda Sri Paduka? Semua bisa dilihat di papan tulis besar di ruang Sekretaris Wilayah Daerah (Sekwilda) di Pracimosono.

Tulisan spidol hitam di papan putih sederhana itu menjadi sumber informasi paling berharga. Di sana tertulis “CC” di samping nama-nama tamu penting—singkatan dari courtesy call, kunjungan kehormatan.

Bagi wartawan 1980-an, papan itu seperti Google Calendar masa lalu: sumber pasti tentang siapa berkunjung, jam berapa, dan untuk apa.

Sri Paduka yang Selalu Rapi

KGPAA Paku Alam VIII dikenal sebagai sosok yang sangat rapi dan berwibawa. Sepatunya selalu mengilap, jasnya licin disetrika, dan tutur katanya terukur. Ia bukan tipe pemimpin yang murah senyum, tapi setiap kali berbicara, orang akan diam mendengarkan.

Ada satu kebiasaan unik menjelang 17 Agustus: setiap kali akan menyampaikan pidato kenegaraan, Sri Paduka menolak menggunakan ruang kerjanya yang penuh tumpukan buku dan dokumen. Sebagai gantinya, pidato direkam di ruang kerja Sri Sultan HB IX.

Namun meski hanya meminjam ruangan, beliau selalu mewajibkan staf protokol meminta izin ke Kraton Yogyakarta terlebih dahulu. Bahkan setelah Sri Sultan HB IX wafat dan Sri Sultan HB X belum diangkat menjadi Gubernur, kebiasaan itu tetap dijaga.

Bagi Sri Paduka, tata krama bukan sekadar simbol—ia adalah bagian dari kepribadian Jawa yang sejati.

Aroma Kayu dan Wibawa yang Tak Hilang

Kini, Kepatihan memang lebih modern, dengan kantor berpendingin udara dan ruang rapat digital. Tapi jika Anda berjalan pelan di teras Gedong Wilis saat siang hari, aroma kayu tua dan suara langkah di lantai tegel masih menghadirkan bayangan masa lalu.

Bayangan tentang wartawan yang menunggu dengan sabar di balik dinding kuning gading. Tentang Sri Paduka yang berbicara tenang di teras Gedong Wilis. Tentang Yogyakarta yang dulu menjalankan pemerintahan dengan kearifan, kesantunan, dan rasa hormat.

Semuanya berpusat di satu tempat yang legendaris: Kepatihan, jantung pemerintahan yang berdetak halus di tengah kota Jogja—dan di hati mereka yang pernah “nguping” di balik dindingnya.

Sebelumnya

KAI Daop 6 Yogyakarta Perketat Pengawasan Jalur Rel Hadapi Musim Hujan

Selanjutnya

Jejak Perpustakaan yang Hilang dari Malioboro: Rumah Sunyi Para Pembaca Kecil Jogja

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Mark News