Adaptasi Wartawan Menembus Perubahan

Oleh : Agus U, jurnalis
Marknews.id – Pada masa sebelum tahun 2000-an, dunia wartawan ibarat dunia yang “terkotak-kotak.” Ada wartawan cetak, wartawan radio, dan wartawan televisi. Masing-masing hidup dalam dunianya sendiri, dengan alat, gaya kerja, dan kebanggaannya.
Wartawan radio kala itu, yang diakui secara “resmi,” hanyalah mereka yang berasal dari RRI. Wartawan televisi pun demikian, hanya yang berseragam TVRI yang dianggap sah membawa label wartawan TV. Padahal, perlahan-lahan sudah muncul radio swasta dan televisi komersial yang mulai menyiarkan berita—meski belum boleh secara terbuka menyebutnya sebagai “berita.”
Wartawan Tulis dan Blok Notes yang Legendaris
Di media cetak, pembagian juga jelas: ada wartawan tulis dan wartawan foto. Wartawan tulis selalu lekat dengan blok notes kecil di tangan buku catatan berlogo media tempat mereka bernaung, yang jadi simbol kebanggaan. Di saku mereka, sering terselip bolpoin, dan di kepala mereka, penuh potongan kalimat yang harus segera ditulis sebelum terlupa.
Sebagian wartawan muda mulai membawa tape recorder, alat perekam yang sering membuat mereka terlihat lebih modern. Namun, para senior menatapnya dengan senyum tipis. “Nganggo tape kuwi ribet,” ujar Mas Giek, wartawan senior Suara Merdeka suatu ketika. “Nek nyathet, sekalian ngrungokke, wis ngerti inti ceritane. Bayangno nek ngrekam liputan pengadilan, sak kaset entek.”
Dari nasihat itulah, banyak yang akhirnya kembali ke gaya lama: mencatat. Karena di balik setiap catatan tangan, ada pemahaman yang langsung terbentuk.
Rompi, Roll Film, dan Kamera Berat
Wartawan foto memiliki dunia yang lebih “berat”—secara harfiah. Kamera besar dengan sederet lensa, lampu blitz raksasa, dan roll film yang selalu harus siap. Tak heran, rompi dengan banyak saku menjadi atribut wajib, tempat menyimpan lensa dan film cadangan agar tak perlu bolak-balik ke tas kamera.
Sementara itu, wartawan televisi membawa “senjata” paling mencolok. Kamera berbasis VHS dengan ukuran besar, lengkap dengan lampu sorot dan baterai cadangan yang beratnya bisa mencapai sepuluh kilogram. Satu liputan bisa terasa seperti latihan angkat beban. Namun, begitulah pengorbanan demi berita yang bisa ditayangkan ke seluruh negeri.
Era Digital: Hape Mengubah Segalanya
Lalu datanglah era digital—dan semua berubah.
Ketika smartphone mulai merajai genggaman, wartawan tak lagi perlu menenteng tas besar berisi kamera, tape recorder, atau film. Hape bisa merekam suara, mengambil gambar, merekam video, bahkan menyiarkan langsung (live).
Dari alat perekam yang dulu sebesar buku telepon, kini semua cukup dengan sentuhan jari di layar. Wartawan bisa memotret, merekam wawancara, menulis naskah, mengedit video, dan mengirimkannya ke redaksi hanya lewat satu perangkat kecil. Bahkan, aplikasi transkrip otomatis kini membantu mengubah suara menjadi teks, tinggal dibenahi ejaannya, diberi judul, dan dikirim.
Semua berlangsung cepat, real time, dan serba instan.
Tak ada lagi cerita kirim naskah lewat faksimili, mengirim kaset video lewat kargo udara, atau menunggu foto dikirim lewat pos kilat khusus. Semua cukup lewat hape—bahkan honor liputan pun bisa langsung ditransfer melalui perangkat yang sama.
Jejak Perubahan dari Kotabaru
Di Indonesia, perjalanan teknologi ini dimulai pada tahun 1994. Menteri Pariwisata, Pos, dan Telekomunikasi saat itu, Soesilo Soedarman, meresmikan layanan telepon seluler untuk wilayah segitiga Semarang–Yogyakarta–Solo di Kantor Telkom Kotabaru, Yogyakarta. Sejak saat itu, perubahan demi perubahan mulai menembus ruang redaksi.
Kini, wartawan tak lagi terkotak oleh medium.
Satu orang bisa menulis, memotret, merekam, bahkan menyiarkan sendiri. Dunia jurnalistik bertransformasi, namun satu hal tetap abadi: semangat untuk mencari dan menyampaikan kebenaran.
Karena di balik setiap alat liputan—entah blok notes lusuh atau smartphone canggih—selalu ada satu hal yang sama: rasa ingin tahu dan tanggung jawab untuk bercerita.