Beranda Jogja Tempo Doeloe Jejak Teteg Sepur yang Kini Tinggal Kenangan
Jogja Tempo Doeloe

Jejak Teteg Sepur yang Kini Tinggal Kenangan

Gambar : Pinteres

Oleh: Agus U, Jurnalis

Marknews.id – Yogyakarta — Di masa lalu, denting bel dan bunyi “ting… ting… ting…” dari teteg sepur — palang pintu perlintasan kereta api  menjadi bagian akrab dari denyut kehidupan warga Kota Yogyakarta. Suara itu menandai datangnya kereta, mengingatkan orang untuk berhenti sejenak, menyisihkan waktu di tengah hiruk-pikuk kota yang tak pernah benar-benar tidur.

Namun, kini suasana itu perlahan menghilang. Satu per satu teteg sepur di kota ini lenyap, digantikan jalan raya modern atau sekadar papan tanda tanpa penjaga. Dari banyak titik yang dulu hidup dengan suara bel dan gesekan besi, hanya segelintir yang masih bertahan.

Dari Timur ke Barat: Kisah Dua Wajah Teteg Sepur

Di sisi timur kota, teteg sepur masih bisa ditemukan — meski wujudnya sudah jauh berbeda.
Perlintasan di Timoho, Baciro, hingga Lempuyangan kini telah dioperasikan secara elektronik, tak lagi mengandalkan tenaga manusia yang mengangkat dan menurunkan palang secara manual. Modern, efisien, namun tanpa lagi kehangatan sapaan penjaga rel yang dulu begitu dikenal warga sekitar.

Berbeda dengan Malioboro, yang dahulu memiliki palang model angkat — ikon kecil dari masa lalu yang ikut pudar seiring modernisasi. Pada era 1970-an, sistem itu dihapus ketika jalur kendaraan bermotor dibuka melewati Viaduct Kleringan. Sejak saat itu, Malioboro tidak lagi memiliki teteg sepur yang berayun pelan di bawah sinar matahari sore.

Barat yang Sunyi: Jalur yang Tak Lagi Hidup

Sementara itu, di sisi barat kota, teteg sepur nyaris tinggal kenangan.
Rel kereta Yogyakarta–Magelang yang dulu melintas di Pingit, kini tak lagi berfungsi. Jalur itu berhenti hidup setelah banjir lahar dingin Gunung Merapi merusak jembatan Krasak — bukan hanya untuk kendaraan biasa, tapi juga jalur kereta api yang melintas di atasnya.

Tak jauh dari situ, teteg sepur Badran pun turut hilang ditelan perubahan. Dulu, di titik itu, terdapat jalur yang bercabang ke selatan, melayani rute Yogyakarta–Bantul–Palbapang. Kini, kawasan itu berubah total: sebagian menjadi Koramil dan Kemantren, sementara jalan mobil dan motor dialihkan ke sisi barat.

Penjaga Rel yang Kini Tinggal Cerita

Mereka yang lahir di era 1960-an mungkin masih mengingat rumah kayu kecil di utara perempatan Tamansari — tempat penjaga teteg sepur beristirahat. Dari rumah itulah, penjaga akan keluar membawa tanda, memberi aba-aba bahwa sebentar lagi kereta akan melintas. Tak ada mesin otomatis, hanya kejelian mata dan ketepatan waktu.

Kini, rumah-rumah kecil itu lenyap. Jalan dari Pojok Beteng hingga Bugisan (Jalan Sugeng Jeroni) sudah menjadi jalur baru yang rapi, mulus, dan tak lagi bersinggungan dengan rel.

Yang tersisa hanyalah ingatan  tentang suara bel logam, tangan penjaga yang melambai, dan suasana kampung yang berhenti sejenak setiap kali kereta lewat.

Antara Kemajuan dan Nostalgia

Modernisasi memang membawa banyak kemudahan. Tapi bagi sebagian warga Yogyakarta, hilangnya teteg sepur bukan sekadar perubahan infrastruktur. Ia adalah lenyapnya potongan kecil dari memori kota  yang dulu menyatukan manusia, rel, dan waktu dalam harmoni sederhana.

Kini, setiap kali melintas di jalan yang dulu dijaga teteg sepur, sebagian orang mungkin masih bisa mendengar gema samar: suara bel besi, roda baja, dan langkah penjaga rel yang setia pada tugasnya  meski hanya dalam ingatan.

Sebelumnya

Gus Hilmy Kecam Tayangan Trans7 yang Dinilai Lecehkan Pesantren: “Ini Melukai Martabat Santri dan Kiai”

Selanjutnya

Memaknai Takdzim Yang Keliru

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Mark News