Kisah Pohon Mangga yang Disholawati
Marknews.id -Empat tahun lalu, di halaman rumah yang sunyi, seorang lelaki menanam sebatang pohon mangga. Bibitnya datang dari tepi jalan batangnya lentur, daunnya lebat tapi pucat. Saat menanamnya, tanah masih […]

Marknews.id -Empat tahun lalu, di halaman rumah yang sunyi, seorang lelaki menanam sebatang pohon mangga.
Bibitnya datang dari tepi jalan batangnya lentur, daunnya lebat tapi pucat. Saat menanamnya, tanah masih basah oleh keringat dan harap.
“Bismillah,” bisiknya lirih, “semoga tumbuh dalam ridha-Mu, ya Allah.”
Penjual bibit sempat berujar, “Ini mangga Kiojay, buahnya bisa dua kilo satu biji.”
Lelaki itu hanya tersenyum. Ia tidak mengejar rekor. Ia hanya ingin keteduhan — sebatang pohon yang bisa menjadi saksi waktu dan pelindung doa.
Sejak hari pertama, setiap pagi ia menyiramnya sambil berselawat. Kadang dengan suara serak yang pelan, kadang lantang bagai panggilan rindu. Ia percaya, pohon pun mendengar pujian dan doa.
“Ayo tumbuh, pohonku,” ujarnya lembut, “jadilah makhluk yang membawa manfaat.”
Dan pohon itu tumbuh.
Perlahan, tapi pasti.
Bersama waktu, bersama hujan, bersama doa yang tak pernah putus.
Batangnya menguat, daunnya menebal, bayangannya menyejukkan teras rumah setiap sore.
Sering kali lelaki itu duduk di kursi rotan, memandanginya lama, lalu berucap pelan,
“Subhanallah… betapa indah hidup ini jika dirawat dengan sabar.”
Musim berganti, dan pada tahun keempat, keajaiban turun dari langit.
Bunga-bunga putih kekuningan bermekaran di sela daun — mungil, rapuh, tapi penuh janji.
Dalam hitungan bulan, bunga itu menjelma buah.
Kecil, lalu membesar, membesar lagi, hingga cabang-cabangnya menunduk, seolah sujud dalam rasa syukur.
Anak-anaknya bersorak.
“Ibu, lihat! Besar sekali mangganya!”
Saat satu buah ditimbang, jarumnya berhenti di angka satu kilo dua ons.
Beberapa hampir dua kilo.
Lelaki itu terdiam lama di bawah rindang pohonnya.
Air matanya menitik — bukan karena kagum, tapi karena sadar:
setiap selawat yang ia ucapkan dulu telah menjelma menjadi daging buah yang manis.
“Alhamdulillah,” bisiknya, “Engkau tak pernah lalai mendengar doa sekecil apa pun, ya Allah.”
Namun tak satu pun mangga itu ia jual.
Ia bagikan — kepada tetangga, saudara, bahkan tukang sampah yang lewat.
Setiap orang yang menerima menatap takjub.
“Ini mangga apa, Pak, kok besar sekali?”
Ia tersenyum. “Mangga Kiojay. Tapi mungkin membesar karena sering disanjung dan diselawati.”
Mereka tertawa, tapi di hatinya ia tahu:
pohon itu tumbuh bukan semata karena air atau pupuk,
melainkan karena cinta, karena zikir yang menetap di udara pagi,
karena keyakinan bahwa Allah menumbuhkan segala sesuatu dengan kasih-Nya.
Sore itu, setelah semua buah habis dibagikan, lelaki itu duduk di bawah daun yang bergetar pelan.
Cahaya senja menembus ranting, menorehkan warna madu di tanah basah.
Ia memejamkan mata dan berucap pelan,
“Terima kasih, ya Allah. Pohon ini berbuah, tapi yang lebih manis adalah rasa syukur yang Kau tumbuhkan di hatiku.”
Angin berhembus lembut.
Dan di antara desirnya, terdengar samar-samar selawat —
entah dari mulut lelaki itu, atau dari pohon yang sedang bersyukur kepada Penciptanya.